Kupu-Kupu Malam
Karya: Shiela Fiorencia Caroline
Kala itu hujan turun dengan sangat deras membasahi setiap sudut permukaan bumi. Rintik-rintiknya terus berjatuhan bagai berlian dari langit. Kudongakkan kepalaku, memandangi langit malam ditutupi awan tanpa bintang-bintang.
Hujan turun dengan lebat dan tengah malam hampir menyelimuti. Aku duduk sendirian di sebuah kios kosong dengan setengah dari tubuhku basah kuyub akibat hujan. Aku memandangi motorku yang terparkir tak jauh dariku dengan pasrah mengingat motor itu telah terguyur hujan dan kemungkinan motor itu akan mogok karena mesinnya basah.
Kini aku mengutuk diriku sendiri karena mengabaikan saran Ibuku untuk membawa jas hujan, diriku yang malang harus terjebak dalam hujan yang sangat deras.
Aku menghela napas panjang saat melihat sudah banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Ibuku yang terus bertanya di mana kini aku berada dan mengomeliku karena keras kepala. Aku bisa membayangkan dirinya yang mondar-mandir dengan cemas.
Dengan lesu aku menelepon Ibuku, “Bu, hujannya masih deras, sepertinya aku pulang lebih malam dari biasanya. Ibu tidurlah lebih dulu, tidak perlu menungguku karena aku juga tidak tahu akan pulang jam berapa.” Hanya itu yang bisa kuucapkan pada Ibuku.
Aku bisa mendengar suara kekalahan dari suara Ibu. Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku menutup teleponnya. Tak berselang lama, kulihat seorang gadis berlari menembus hujan menuju kios tempatku berdiri saat ini. Sesampainya dia kemari, dia berdiri di sampingku. Aku segera merasa familiar dengan wajahnya.
Aku ingat dia tinggal tak jauh dari rumahku. Aku ingat aku selalu memperhatikannya lewat jendela rumahku. Setiap pagi dia akan keluar untuk menjemur pakaiannya di belakang rumahnya. Sembari memakan sarapanku sebelum pergi bekerja, aku akan memperhatikannya.
Dia memang gadis yang cantik, sayangnya dia sangat tertutup. Aku hanya pernah melihatnya keluar rumah saat pagi hari untuk menjemur pakaian, selebihnya aku tidak pernah melihatnya keluar dari rumahnya. Aku tidak mengenalnya, aku juga tidak tahu namanya, tidak ada seorangpun orang-orang yang tinggal di lingkungan kami yang mengenalnya.
Bahkan saat aku pulang selepas lembur di kantor, rumahnya gelap gulita seperti tak berpenghuni. Entah apa yang dilakukannya, tapi bisa kupastikan dia tinggal sendirian. Hanya ada sepasang sandal di depan rumahnya.
Rambut panjangnya basah kuyub, sekujur tubuh juga ikut basah kuyub. Tubuhnya tertutup oleh jaket kulit hitam yang nampaknya terlalu besar untuk tubuhnya yang mungil. Aku bertanya-tanya apakah jaket itu sungguh-sungguh miliknya.
Dia sesekali menatapku dengan ekor matanya beberapa kali dengan ekspresi cemas yang tak tergambarkan. Sesaat dia menyadari aku juga ikut menatapnya, dia menjauh sedikit dariku.
Hal yang membuatku keheranan kala itu. Dia tampak gelisah berada di dekatku, membuatku merasa tak enak hati. Kupandangi juga hujan yang masih turun lebat, padahal jam sudah menunjukan pukul 23.30 malam.
Keheningan menyelimuti kami berdua. Gadis itu terus memainkan jaket. Dia mengenakan gaun merah yang panjangnya di atas lutut, membuat kakinya yang terbuka tampak jelas olehku.
Perhatianku justru tertuju dengan bekas memar yang membiru hampir sekujur kakinya. Aku pun tidak tahan dengan keheningan itu sehingga aku memutuskan memulai percakapan.
“Mbak yang tinggal di seberang rumah saya, kan?” tanyaku sambil tersenyum.
Dia memandangiku secara perlahan dan dengan ragu-ragu dia menjawab pelan, “Iya.”
“Mbak habis dari mana? Kok bisa lebam begitu? Habis jatuh, ya?” tanyaku dengan hati-hati.
Gadis itu diam saja sambil menundukan kepalanya. Aku mulai merasa tak enak karena telah bertanya terlalu jauh. Aku menatapnya prihatin. Kupikir gadis itu baru saja mengalami hari yang buruk. Terlintas dalam pikiranku untuk mengajaknya pulang bersama begitu hujan reda.
“Mbak, tadi jalan kaki sendirian ya? Nanti pulang sama saya aja, mbak. Kebetulan rumah kita dekat, kan.” ujarku sembari tersenyum.
Raut wajahnya langsung berubah panik. Sorot matanya menunjukkan ketakutan. Dia mungkin berpikir aku akan macam-macam.
Gadis itu dengan terbata-bata menjawab, “T-tidak usah, mas. Sa- saya bisa jalan kaki sendiri.”
Dengan lembut dan atas dasar ingin membantu, aku menjawab, “Tidak apa-apa, mbak. Saya tidak akan macam-macam ke mbak. Tidak baik juga untuk seorang wanita berjalan sendirian malam-malam. Mana habis hujan deras, kan? Saya janji saya tidak akan macam-macam. Kalau saya berani macam-macam, pakai saja ini.”
Aku memberinya korek apiku dan dia tampak keheranan, “Un-untuk apa?”
“Mbak pakai ini untuk perlindungan diri kalau saya berani macam-macam.”