Petualangan Mendaki ke Puncak Dempo (Bumi Sriwijaya)
Oleh: Sutiono, S.Pd. Kim, M.M
Akhir pekan yang ditunggu-tunggu sudah tiba.
Lima belas mahasiswa dari sebuah kampus negeri di Palembang bersiap menjelajahi puncak Gunung Dempo.
Mereka terdiri atas Erikson, Tunku Singalangit, Antonio, Fahmi, Bonar, Cute, Agus, Diah Pitaloka, Dewi persik, Lily, Etie, Diana, Emi, Dian dan Evi.
Para mahasiswa tersebut berkumpul penuh dengan semangat dan ceria, karena terlalu semangat bahkan ada beberapa dari mereka tidak bisa konsentrasi dalam menjawab soal tes mata kuliah pada jam akhir kelas.
Di pertemuan itu, mereka membahas rencana pendakian ke gunung Dempo, salah satu gunung tertinggi di Sumatera Selatan. Sang pemimpin pendakian kali ini bernama Erikson, senior yang dihormati, rombongan ini terdiri dari 8 pendaki putra dan 7 pendaki putri.
Setelah persiapan yang matang, mereka berangkat dari Palembang menuju Kota Pagar Alam dengan menaiki mobil Bis Kereta Malam.
Perjalanan darat yang panjang dan memakan waktu beberapa jam dengan melewati perbukitan dan jurang yang dalam serta lekukan jalan yang berkelok-kelok sehingga menambah suasana menegangkan para penumpang Bis Kereta Malam tersebut.
Namun, Perjalanan yang sedikit menegangkan itu, dapat diobati dengan senda gurau dan nyanyian ciri khas para mahasiswa tersebut, sehingga perjalanan ini dihiasi penuh dengan canda tawa dan semangat. Para pendaki muda ini telah lama menanti kesempatan untuk mendaki gunung Dempo yang terkenal dengan keindahannya.
Erikson, yang sudah beberapa kali mendaki gunung dan paling senior, tampak tenang dan memimpin rombongan dengan percaya diri. Di antara mereka, ada Tunku Singalangit, seorang pendaki berpengalaman yang dikenal memiliki naluri kuat dalam menghadapi alam liar.
Setibanya di Pagar Alam, suasana dinginnya hawa penggunungan sudah terasa, matahari perlahan mulai merangkak naik sambil tersenyum di balik awan yang kadang menutupinya. Dan mengingat waktu yang semakin siang, mereka bergegas memulai melangkahkan kaki menapak pendakian dengan melewati perbukitan dan Lembah di hamparan Perkebunan teh.
Satu jam perjalanan Langit masih terlihat cerah, dan irama suara burung kutilang yang merdu serta sejuk dan segar udara pegunungan menambah semangat para Pendaki. Namun, di tengah perjalanan, saat mereka mencapai sebuah persimpangan dan tanpa penunjuk arah yang jelas, suasana perdebatan muncul.
Erikson bersikeras bahwa mereka harus mengambil jalan kiri, sesuai dengan rencana awal. Namun, Tunku Singalangit merasakan sesuatu yang ganjil. “Aku rasa kita seharusnya mengambil jalan kanan,” katanya dengan nada serius. “Instingku mengatakan bahwa jalan kiri ini bisa membawa kita ke arah yang salah.”
Erikson tak setuju. “Kita harus tetap pada jalur yang sudah direncanakan. Aku sudah mendaki di sini sebelumnya, dan jalan arah kiri ini seharusnya aman.” Tunku Singalangit menjawab dengan tegas.
“Baiklah, satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan, apakah Anda pernah menghubungi juru kunci gunung untuk izin pendakian? Perdebatan antara keduanya semakin panas. Rombongan mulai terpecah, tak tahu harus mengikuti siapa.