Oleh: Mega Jesica

Industri pertambangan, sebagai tulang punggung ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia, telah menjadi isu yang kompleks dan kontroversial. Di satu sisi, ia memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain, aktivitas pertambangan seringkali diiringi oleh kerusakan lingkungan yang parah, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan konflik sosial.

Aktivitas pertambangan yang tidak bertanggung jawab telah menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air dan tanah, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Bahkan, aktivitas pertambangan yang tidak memperhatikan aspek geologi dapat memicu bencana alam seperti longsor dan banjir. Paradoksnya, alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pertambangan eksploitatif justru dapat meningkatkan angka kemiskinan dan memperparah kesenjangan sosial. Hal ini disebabkan oleh prioritas perusahaan tambang yang lebih terfokus pada keuntungan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan.

Masalah semakin diperparah dengan kurangnya transparansi informasi mengenai dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas pertambangan. Praktik menyembunyikan informasi ini merupakan pengkhianatan terhadap hak publik untuk mengetahui dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam

Kasus penolakan tambang timah laut di Desa Batu Beriga, Bangka Belitung, menjadi bukti nyata bahwa masyarakat telah semakin sadar akan dampak negatif dari aktivitas pertambangan. Warga setempat menolak tambang karena khawatir akan kerusakan lingkungan dan dampaknya terhadap mata pencaharian mereka.