Oleh: Rapi, S.Pd

Hari Raya Imlek yang kini dirayakan dengan meriah di berbagai penjuru Indonesia tidak lepas dari jasa besar seorang tokoh bangsa: Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur. Presiden keempat Republik Indonesia ini tidak hanya dikenal sebagai tokoh pluralisme, tetapi juga sebagai pejuang hak-hak kelompok minoritas.

Pada masa Orde Baru, perayaan Imlek dilarang secara terbuka melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Etnis Tionghoa harus menyembunyikan identitas budaya mereka, termasuk merayakan Imlek. Tradisi ini dianggap bertentangan dengan semangat asimilasi. Hal ini tentu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Tionghoa yang merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia.

Ketika Gus Dur menjabat presiden pada tahun 1999, ia menghapus larangan dan mencabut Inpres tersebut. Gus Dur menyatakan bahwa Imlek adalah bagian dari kekayaan budaya bangsa yang harus dihormati dan dilestarikan. Tahun Baru Imlek pun resmi diakui sebagai hari libur fakultatif, dan kemudian, pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menjadikannya hari libur nasional.

Langkah Gus Dur ini menjadi titik balik penting dalam sejarah pluralisme Indonesia. Menurut NU Online, penghapusan larangan ini adalah bagian dari komitmen Gus Dur untuk melawan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kelompok minoritas.