Oleh: Yan Megawandi

Sebenarnya tak ada yang salah dengan keinginan seseorang untuk jadi terkenal alias ngetop. Atau menjadikan dirinya seolah-olah selebriti yang diperhatikan ketika berjalan atau berkegiatan.

Banyak orang kemudian ingin tampil bak selebriti, atau menjadikan diri merasa sebagai selebriti. Lewat cara apa pun dan kapan pun.

Baru-baru ini sebuah acara webinar diselenggarakan oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dengan tema ASN Menjadi Conten Creator.

Pesertanya mencapai jumlah ribuan. Cukup banyak untuk kategori webinar. Tetapi masih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah anggota Kopri yang sekitar 4,3 jutaan orang.

Ketua Umum Kopri, Prof Zudan Arif dalam acara tersebut mengajak anggotanya untuk mulai menggunakan media sosial yang ada sebagai salah satu cara dalam membranding nilai-nilai positif atau pelaksanaan tugas anggota Korpri sehari-hari.

Yang disampaikan oleh Prof Zudan bukan sekadar imbauan belaka. Dulu sebagai seorang Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, pada jabatan sebelumnya, ia telah menjadi contoh dalam memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat.

Ketika itu ia menggunakan TikTok untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan mengenai catatan sipil dan kependudukan. Dengan TikTok Zudan secara masiv berhasil mengedukasi masyarakat tentang pentingnya Kartu keluarga, KTP, serta mekanisme cara mengurus dan mendapatkannya.

Dengan TikTok pula Zudan mencoba memerangi para pegawai yang selama ini sering nakal dan mengambil keuntungan pribadi dalam pengurusan masalah kependudukan dan catatan sipil. Sekarang ia menjabat sebagai Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan dan menjadi Pj Gubernur Sulawasi Barat.

Terinspirasi dari hal-hal tadi barangkali kemudian membuat Pj Gubernur Sumatera Selatan, Agus Fatoni lalu mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov Sumatera Selatan untuk memiliki dan menggunakan media sosial.

Hal itu menurutnya sebagai upaya membangun citra positif Pemprov Sumsel. Sementara medsos yang diwajibkan yakni baik Instagram, Facebook, TikTok, X, Youtube dan lain sebagainya.

Ada sebuah buku menarik yang ditulis oleh Ignatius Haryanto (2006), dengan kata pengantar yang ditulis oleh Mudji Sutrisno. Judul buku itu “Aku Selebriti maka Aku Penting”.

Judul itu merupakan semacam plesetan dari adagium yang pernah disampaikan oleh filsuf terkenal Rene Descartes: Cogito Ergo Sum. Aku berpikir maka aku ada.

Bila di masa lalu orang baru bisa terkenal karena peran penting pewarta atau wartawan, maka hari ini tak selalu begitu. Bila dulu orang baru diberitakan kalau orang penting atau terkenal mengangkat atau melakukan hal-hal yang penting atau unik maka yang sekarang terjadi sebaliknya.

Lihatlah di televisi. Berisi informasi artis ini liburan kemana, atau artis itu merek tasnya apa. Atau model rambut artis yang berubah. Kendaraannya  yang berganti. Tempat nongkrong para selebriti di mana. Dan info-info yang dulu mungkin tak terbayangkan oleh kita bakal ditayangkan di layar TV.

Hebatnya lagi acara-acara itulah yang memang jadi santapan sehari-hari keluarga Indonesia saat ini. Judul acaranya infotainment. Semua hal remeh temeh dan tak penting disulap sedemikian rupa supaya terkesan glamor, hebat dan menarik. Anehnya lagi acara seperti ini justru menyedot banyak penonton, dan mendatangkan iklan tentu saja.

Penulis dulu pernah melakukan penelitian kecil-kecilan tentang siapa saja yang dijadikan nara sumber oleh media di Bangka Belitung. Metode penelitiannya menggunakan content analisis atau analisis isi.

Ternyata memang lebih dari separuh berita yang ditampilkan oleh media cetak harian dan RRI Sungailiat ketika itu bersumber dari kelompok elite. Entah itu kepala daerah, pejabat daerah, politisi pimpinan partai atau ketua ormas/LSM. Hanya saja ada yang agak unik waktu itu.