Bersorai Lestari
Karya: Hikmah Tul Aulia
Dari gemuruh kota, aku berpijak. Dari terik matahari yang menyapa berang. Disertai suara tawa anak anak yang mendominasi indera. Jalan beraspal yang dulunya hanya kerikil setapak. Bangunan tua yang dulunya diselimuti ilalang. Reruntuhan yang kini telah tersusun apik walau terlanjur cacat dilahap masa. Dulu aku pernah berdiri di sini, dengan tempat yang sama namun kondisi yang berbeda.
Toboali, 2003. Dengan seragam merah putih yang masih melekat di tubuh aku berlari memasuki rumah.
“Ayah, mau ke mana?” tanyaku. Setelah melihat ayah dengan alat hungkur di tangannya, sebuah alat yang digunakan nelayan untuk menangkap udang rebon.
“Mau pergi nyungkur di Laut Nek Aji, mau ikut tidak?” ucap ayah.
“Mau, tunggu ayah,” ucapku sembari bergegas mengganti pakaian.
Saat ini memang lagi musimnya udang hungkur atau udang rebon. Pada bulan bulan tertentu, ketika memasuki bulan juni hingga juli, ayah dan para nelayan disini bersemangat untuk nyungkur, istilah yang digunakan untuk kegiatan menangkap udang hungkur. Karena pada bulan ini populasi udang hungkur sangat melimpah.
Saat sedang berjalan menuju pantai, netraku teralihkan pada sebuah bangunan tua di atas bukit kecil yang tak terawat. Ilalang menjuntai tinggi hampir menutupi seluruh bangunan itu. Ini bukan pertama kali aku melihatnya. Rasa penasaran akan isi yang ada di dalam bangunan besar itu, sepertinya nanti akan ku tanyakan pada ayah.
Sesampainya di pantai, ayah mulai mendorong sampan kecil ke pesisir pantai yang kini tengah surut. Didorongnya alat hungkur yang terbuat dari bambu dan jaring yang dirakit sedemikian rupa. Kata ayah, nyungkur bukan hanya sekadar mata pencaharian warga setempat, namun sudah menjadi tradisi kearifan lokal warga Toboali yang patut dilestarikan. Saat sedang mendorong hungkur, tiba tiba pikiran ku teralihkan.
“Ayah, bangunan tua yang di bukit itu bangunan apa yah?” tanyaku pada ayah.
“Itu Benteng Toboali, katanya dulu Belanda mendirikan benteng untuk melindungi kepentingan Belanda termasuk timah, juga memantau serangan dari arah laut. Benteng itu juga pernah dikuasai oleh Jepang, lalu tahun delapan puluhan sempat dipergunakan untuk kepolisian Distrik Toboali sebelum pindah kedepan,” jelas ayah.
“Loh berati itu bangunan bersejarah dong yah.”
“Betul sekali.”
“Lalu kenapa tidak di rawat?” tanyaku lagi. Seharusnya bangunan itu sudah dijadikan cagar budaya mengingat sejarah nya.
“Masih kurang kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan budaya seperti itu nak. Ayah sering kali membicarakannya pada aparat desa, namun nihil,” jawab ayah sembari melanjutkan nyungkur, “Sudah mulai gelap, ayo naik!” lanjut ayah kemudian.
“Wah, udang hungkurnya banyak banget ayah,” ucapku semringah.
“Alhamdulillah,” ucap ayah, sambil menyeka peluh di dahi.
“Udang sebanyak ini mau dibuat apa yah?” tanyaku pada ayah.
“Belacan.”
***
Kata ayah, sedetik dalam hidupmu adalah sejarah. Satu helahan napasmu juga sejarah. Hanya tinggal menentukan seberapa pengaruh sedetik yang kau ciptakan bagi sejarah.
Terik matahari menyengat ke pori-pori. Peluh membasahi dahi, sesekali menetes kemata meninggalkan jejak perih seketika. Ku taburkan udang hungkur ke penjemuran khusus yang dibuat ayah.
“Ali, udang yang sudah kering angkat dan bawa ke sini!” suara mama terdengar dari pelataran rumah.
“Iya Mak,” jawabku sembari mengangkat jemuran yang berisi udang yang sudah kering. Kulihat mama sudah siap dengan lesung dihadapannya, alat yang digunakan warga setempat untuk menghaluskan udang yang sudah dijemur. Salah satu proses pembuatan belacan atau terasi di Toboali.
“Mak, habis ni Ali mau main ya,” kataku.
“Eh, sebentar. Ini sekalian antarkan pesanan belacan kerumah Cik Sal.”
“Iya Mak,” ucapku segera bergegas pergi.
Sesudah mengantar belacan ke rumah Cik Sal, aku pun bebergegas ke lapangan untuk bermain.
“Eh Ali, dari mana saja kamu? kami dari tadi nungguin,” ucap Bedo, temanku.
“Biasa, ngantar belacan,” Jawabku.
“Hey kalian tahu tidak bangunan yang di bukit kecil yang deket ketapang tu?” ucap Dika menginterupsi.
“Iya tau,” jawabku dan Bedo serempak.
“Itu katanya rumah nenek sihir tahu, ih serem.”
“Masa sih?” ucap Bedo tak percaya. Seketika tawa ku pecah akibat celetukan tersebut.
“Loh ko tertawa? Kamu ga percaya Li?” tanya Dika kepadaku.
“Ya enggak lah. Kata ayahku, itu Benteng Toboali, peninggalan Belanda,” ucapku dengan gelengan kepala. Tak habis pikir.
“Loh, berarti nenek sihirnya orang Belanda dong!” celetuk Dika, heboh sendiri.