Oleh: Yan Megawandi

Sebenarnya sudah agak segan menulis tentang pariwisata. Kata teman-teman, toch tak ada yang berubah juga walaupun sudah diberikan catatan berulang kali. Namun dengan pertimbangan karena ini akhir tahun, dan seminggu lalu seorang tokoh dan sekaligus pelaku pariwisata di Bangka Belitung mengeluh kepada saya, saya merasa perlu membuat catatan mengenai pariwisata kita.

Sekitar tiga dekade lalu, teman saya ini sengaja pulang dari Jakarta ke Bangka pasca kerusuhan reformasi. Bermodal pengalaman menangani urusan pariwisata di sebuah perusahaan pariwisata cukup beken di Jakarta ketika itu, ia yakin pariwisata di kampungnya bisa dijual. Tak sedikit orang yang ragu dan sangsi dengan tekadnya, bahkan mencibir usahanya kala itu dengan menggelarinya “gila”. Tapi, tekadnya sudah bulat untuk pulang dan menjual pariwisata Bangka. Usahanya cukup berhasil dan menyadarkan banyak orang yang masih pesimis, bahwa pariwisata di Bangka Belitung bisa dijual dan laku. Itu kondisi di Bangka pada awal 2000-an.

Bupati Bangka ketika itu memang sangat berkomitmen dengan pembangunan pariwisata. Almarhum Eko Maulana Ali mendorong pengembangan pariwisata tidak saja dengan mengembangkan kelembagaan pariwisata di pemerintahan tetapi juga membantu para pelaku pariwisata dengan sungguh-sungguh. Lihatlah bagaimana pemda membantu menghidupi hotel-hotel dengan membuat kegiatan di sana. Atau bagaimana fasilitas publik seperti jalan, jaringan telekomunikasi, listrik, dan air bersih dibangun sejalan dengan pengembangan destinasi yang ada.

Masyarakat pun dikuatkan. Kebudayaan dan kegiatan masyarakat diberikan tempat agar bisa mengisi celah-celah tradisi dan kesenian agar mampu bersinergi dengan pemajuan pariwisata daerah. Walaupun disibukkan tugas  sebagai bupati, Eko Maulana Ali berhasil menulis buku sebagai buah pemikirannya di bidang pariwisata. Ia kemudian mengeksekusi isi bukunya ketika menjadi Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, salah satunya dengan program Visit Bangka Belitung Archipelago 2010, yang ikut menbuahkan investasi di sektor perhotelan.

Kembali ke teman saya tadi. Ia merasa seolah-olah tak jelas lagi bagaimana sebenarnya pola hubungan antar para pihak dalam melakukan pembangunan pariwisata di Bangka Belitung. Ia bingung, sebenarnya ke mana arah pembangunan dan pengembangan pariwisata daerah ini, apa yang sesungguhnya ingin dicapai dan bagaimana strategi pencapaiannya. Siapa sajakah yang harus terlibat? Bagaimana pola dan perannya?

Ia melihat ada kawasan pariwisata andalan di daerah yang sekarang tak lagi jelas peruntukan dan kepemilikannya. Semakin miris karena semuanya memungut biaya dengan entah apa pun namanya, yang totalnya berujung memberatkan kantong. Itu belum dikaitkan dengan pemberlakuan PPN 12 persen.

Bayangkan, dulu pantai yang banyak tersedia di Bangka Belitung konsepnya bersifat terbuka. Artinya, pantai bisa dinikmati siapa saja. Yang penting, mereka sudah membayar retribusi masuk pantai. “Sekarang coba lihat di arah pantai dekat perkotaan, semua sudah dipagar tinggi. Dan kalau mau ke sana kita mesti membayar lagi,” tulisnya di aplikasi WhatsApp. Apa-apa mesti bayar sekarang, keluhnya.

Ada lagi keluhan soal model promosi yang dilakukan. Teman saya ini mempertanyakan mengapa tak ada kemajuan berarti dalam pengelolaan promosi. Kalau pameran pariwisata yang ditampilkan kebanyakan malah makanan seperti getas, otak-otak dan sejenisnya. Siapa sebenarnya target pasar kita? Kalau hanya jualan makanan, mestinya yang ikut kegiatan lebih tepat teman-teman UMKM saja keluhnya.

Terus terang saja, saya tak terlalu mengikuti lagi perkembangan pariwisata mutakhir Bangka Belitung. Misalnya bagaimana perkembangan jumlah wisatawan, apa saja pembangunan destinasi baru, atau apa saja kalender iven yang menjadi andalan.

Yang sayup-sayup terdengar adalah semakin cekaknya anggaran untuk mengurusi kepariwisataan. Tapi di zaman sulit seperti sekarang, rasanya hampir semua sektor memang mengeluhkan soal dana yang semakin sedikit ini. Maka, mestinya otak harus diperas dengan lebih keras. Tak lagi bisa berpikir dan bertindak dengan cara-cara biasa. Apalagi bila para ASN yang menangani urusan kepariwisataan hanya menunggu anggaran perjalanan dinas semata. Situasi yang ada benar-benar harus membuat semua kemungkinan dibuka.

Masalah klise terus terjadi. Ada seorang kepala dinas pariwisata kabupaten mengeluh bingung, tak tahu bagaimana sebaiknya berkoordinasi dengan pihak pariwisata di provinsi. Sementara di tingkat provinsi sebaliknya mengeluhkan rendahnya koordinasi rekan-rekan mereka di kabupaten/kota yang sering berhubungan langsung dengan pemerintah pusat, tanpa pemberitahuan terlebih dulu ke provinsi. Akibatnya provinsi sering agak “mati angin” manakala pihak pemerintah pusat tiba-tiba hadir di kabupaten/kota.

Masalah Koordinasi

Upaya membangun pariwisata Bangka Belitung ternyata masih menghadapi beberapa persoalan dalam koordinasi. Pertama, setiap kabupaten/kota di Bangka Belitung mungkin memiliki fokus dan prioritas yang tak selalu sama dalam pengembangan sektor pariwisata. Program provinsi yang lebih luas dan general, sementara kabupaten/kota lebih fokus pada potensi lokal mereka, menyebabkan perbedaan arah dalam pengembangan yang tidak terkoordinasi dengan baik.

Kedua, masalah koordinasi pembagian anggaran untuk pengembangan pariwisata. Kabupaten/kota seperti biasa menginginkan dana lebih untuk pengembangan potensi wisata lokal mereka, sementara provinsi perlu memastikan bahwa dana digunakan secara merata untuk seluruh daerah di Bangka Belitung. Persaingan anggaran ini bisa menghambat pengembangan pariwisata yang optimal. Beban berat provinsi dalam hal pendanaan ini terutama akan terjadi di 2025 dengan mulai diberlakukannya UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Sebuah kajian sebuah universitas terkenal di Jawa Barat misalnya, menunjukkan hubungan keuangan ini akan menyebabkan penerimaan provinsi menurun hingga 13,07%. Pada saat yang sama diperkirakan kabupaten/kota akan menikmati peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota sampai dengan 48,98%, tergantung kondisi di masing-masing daerah.

Ketiga, ketidakterpaduan antara rencana pembangunan pariwisata kabupaten/kota dan provinsi yang dapat menyebabkan pengembangan yang tumpang tindih atau bahkan bertentangan. Misalnya, daerah A mengembangkan pariwisata alam, sementara daerah B di dekatnya fokus kepada pariwisata budaya. Ketika fokus pengembangan kedua daerah tidak terintegrasi, kedua daerah tidak bisa saling memperkuat diri untuk menarik wisatawan ke daerah mereka. Atau, ketika dua daerah yang berdekatan fokus pada hal yang sama, sehingga alih-alih bekerja sama, mereka malah berpaham menang kalah.