Tertegun seketika, kucerna lagi kata-kata itu satu per satu dengan baik. Apa yang almarhum Bapak katakan itu benar. Aku hanya memikirkan cibiran tetangga dan takdir orang lain yang terlihat bahagia tanpa memikirkan diriku yang mengejar takdir seperti harapan mereka, padahal belum tentu menjamin kebahagiaanku.

Tak menunggu waktu lama, kucoba lagi memahat sebatang kayu sisa beberapa bulan lalu. Namun kali ini berbeda. Aku lebih ikhlas memberi pahatan di setiap sisi kayu itu. Tak ada yang berubah, hanya saja aku merasa lebih lega ketika menjalaninya.

Waktu demi waktu kujalani sambil berdoa memohon untuk tetap ikhlas pada apa pun yang ada dalam hidupku. “Ya Tuhan, tolong beri aku keyakinan dan keikhlasan untuk setiap takdir yang Engkau siapkan.”

Pada satu kesempatan yang tak kuduga, ternyata kali ini memang waktuku. Direktur perusahaan Jepang yang melakukan kunjungan ke desa melihat hasil pahatan meja karyaku yang hampir setengah jadi di samping balai desa. Entah apa yang membuatnya tertarik dengan hasil pahatanku yang terlihat biasa saja.

“Meja yang di samping balai desa itu hasil pahatamu ya?” tanya direktur itu saat menemuiku di rumah.

“Iya, Pak. Ada apa, ya?” Sebenarnya bingung kurasa saat itu, apa maksud orang asing di hadapanku.

“Begini, saya tertarik dengan hasil pahatamu. Bagaimana jika perusahaan saya mempromosikan karya pahatanmu ini?” jelasnya dengan penuh semangat.

Tak berpikir panjang, ini merupakan kesempatan emas untuk orang sepertiku. Sangat disayangkan jika tawaran Pak Direktur ini kusia-siakan.

“Iya, Pak, saya sangat bersedia dengan tawaran Bapak,” jawabku dengan penuh sukacita.

Lambat laun, usaha yang awalnya kuragukan kini sudah mulai berkembang. Banyak pekerja dari desa sekitar ikut bekerja di tempat pahatku. Ekonomi yang awalnya buruk kini sudah mulai memadai. Bahkan banyak investor dari luar desa mengajakku bekerja sama dengan usaha ini.

Ini merupakan suatu pembuktianku untuk membungkam mulut-mulut dan omongan tetangga yang dulu merendahkanku. Ternyata umur yang terbilang sudah tua tak menjadi penghalang untuk menuju kebahagiaan dengan caraku sendiri. Porsiku tetap porsiku, tak sama dengan porsi orang di sekitarku.

Meski kadang merasa semua tak adil, ternyata itu juga proses untuk melihat keindahanku sendiri. Kebahagiaan tak berpatok pada usia, tak berpatok pada kata, tak juga berpatok pada materi, melainkan pada seberapa jauh kita menganggap bahwa diri kita berharga dan pantas untuk mendapatkannya.

Hidup itu seperti senja. Seperti senja yang bukan siang dan bukan malam. Seperti senja yang indah dengan masanya sendiri. Seperti senja yang selalu ditunggu keberadaannya, meski terdapat pelangi yang tak kalah indah dan berwarna. Dan seperti senja pula yang tahu akan tenggelam dalam gelapnya malam, namun tetap menyuguhkan keindahannya.

Penulis adalah siswa SMA Negeri 1 Toboali, Bangka Selatan