Karya: Nabila Pasya

Hari ini kulangitkan doa ku di sela sela subuh yang dingin. Kulangkahkan kaki secara bergantian, kaki kanan dan kiriku melangkah dengan penuh keyakinan bahwa hari ini bukanlah hari kemarin, di mana kegagalan lagi dan lagi menerpa diriku.

Tepat Empat Puluh Tujuh tahun hari ini, usia yang sudah terbilang tidak muda lagi memaksaku untuk mencari kesempatan di hantaran waktu yang kurasa sulit untuk berjalan sedikit lebih lambat dari siput di trotoar jalan. Banyak usaha dan tenaga yang terbuang sia-sia. Entah waktu atau takdir yang salah? Entahlah, semua itu rasanya terlalu sulit untuk dipahami dan diartikan.

Kupahat dengan teliti dan rapi kayu jati yang kemarin diambil dari hutan belakang desa dengan teliti dan rapi. Memahat kayu dari hutan memang bukan lagi hal asing bagiku karena memang orang-orang desa mengenalku sebagai seorang Pemahat Jawa di desa ini sejak kecil.

Hari-hari kulalui dengan banyak hal yang membuat ragu untuk menjalani usaha ini. Terlebih saat ini usaha yang kujalani tak juga berkembang dan tak kunjung memperbaiki keadaan ekonomiku yang buruk. Pandangan orang-orang desa padaku pun seakan berkata bahwa aku adalah orang gagal yang tak layak untuk bahagia.

Namun, semua itu semakin kurasakan ketika melihat teman sebaya yang kebanyakan sudah menggendong bayi mungil dan lucu bersama istri tercinta dengan ekonomi yang telah memadai. Hingga terlintas di pikiranku,

“Apakah aku tidak sepantas itu, ya Tuhan, untuk merasakan bahagia?”

Setelah berbagai pertimbangan dan keraguan akan usaha yang kujalani beberapa tahun ini, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan demi memperbaiki keuangan di rumah dengan kondisi ibu yang telah sakit-sakitan.

“Bu, besok tolong restui Reno ya, Bu, untuk mengubah takdir kita,” ucapku pada ibu di atas tempat tidur beralaskan kayu itu.

Ndok, doa dan restu selalu Ibu panjatkan untukmu. Apa pun keputusanmu, Ibu dukung selama tak melenceng dari nilai-nilai agama, Ndok,” jawab ibu yang membuatku sedikit lega untuk memulai hal baru yang pastinya memuat banyak tantangan.

Satu persatu tempat kerja kudatangi, namun tak kunjung mendapatkan kesempatan kerja yang kucari. Mungkin karena umurku sudah kian menua, katanya. Raga dan batin pun sudah tak sanggup lagi, rasanya seperti berjalan tertatih-tatih di atas lantai berduri.

Putus asa menimpaku. Entah arah dan tujuan seperti apa lagi yang harus diikuti. Cibiran tetangga pun semakin menusuk hati setiap harinya. Banyak kata yang menjatuhkan semangat hidupku. Entah itu ‘anak durhaka’ karena tidak bisa memberikan ibuku kehidupan yang layak atau ‘si pemahat miskin’ karena kondisi ekonomiku.

Bulan demi bulan berganti mengikuti rotasi matahari. Takdir tak kunjung berpihak padaku. Waktu yang terasa semakin cepat berganti tak juga membuat semangatku tumbuh kembali. Memutih sudah rambut yang tadinya hitam pekat di atas kepalaku.

Di sela-sela lamunan, terlintas satu hal di dalam benakku, yaitu kata-kata almarhum Bapak saat aku kecil, “Kesuksesan itu tidak diukur dari materi, Ndok, tidak juga diukur dari umur yang terus saja berganti tiap tahunnya. Tapi kesuksesan itu diukur dari seberapa ikhlas kamu menjalani jalanmu sendiri.”