Karya: Nurul Janah Gustina

Ada suatu masa di mana tahta masih siaga di puncaknya. Ketika seorang muda yang duduk di atasnya turun ke tanah untuk belajar dari bawah. Penasihatnya ditinggal nya untuk mengawasi kemakmuran wilayahnya. Hanya tersisa seorang berilmu tinggi yang memahami sedikit sudut pandang berbeda yang menemani anak mudanya. Mengais pengalaman dari rakyat jelata.

Maka tibalah anak muda itu dalam suatu gubuk kala air tercurah oleh yang maha kuasa. Disertai prajurit kilatnya yang menghujam orang berdosa. Dipersilakannya anak muda itu masuk oleh seorang wanita renta. Di tangannya ada luka yang tidak terawat. Menguji tata Krama anak muda yang baru melihat dunia.

Lantas bertanyalah anak muda itu. Dengan niat empati pada wanita renta itu. Sorang tua yang terlihat sebatang kara. Namun mempunyai cangkir 2 di atas meja.

“Wahai Nenek, mengapa lukamu kian memburuk? Tidakkah kamu merawatnya dengan baik?” Anak muda itu bertanya selepas beberapa kalimat sopan. Orang berilmu di sebelahnya menundukkan mata. Menyembunyikan pikirannya yang melalang buana. Juga mempersiapkan jawaban untuk anak mudanya.

Dilihatnya wanita renta itu tersenyum tatkala air matanya menggenang di pelupuk lumpur yang berkabut. Sraya melihat lukanya yang kian tak terurus. Kemudian melihat kembali pada anak muda yang bersih di depannya. Yang matanya sarat akan rasa ingin memahami dunia.

“Anak muda. Putra berbaktiku sudah menemui penciptanya 3 hari yang lalu.” Kemudian wanita itu diam. Mengukir kerutan di dahi anak muda itu.

“Lantas, apa hubungannya dengan lukamu yang kian memburuk?” Anak muda itu tak tahan berpikir demikian. Orang berilmu di sebelahnya sudah menyelesaikan perhitungannya. Lantas ikut menatap wanita renta itu.

“Putraku kian berbakti hingga aku tak pernah menyentuh dan merawat luka ini dengan tanganku. Putraku melakukan semuanya. Aku hanya melihat perban putih yang terbalut setiap hari.” Wanita renta itu menunduk. Mengenang putranya yang berbakti.

Anak muda itu terdiam. Memasukkan catatan batin ke dalam hatinya.

“Maka kamu adalah orang tua yang beruntung. Terima kasih banyak atas kebaikanmu. Hujan telah binasa,” ujar orang pintar itu. Melihat anak mudanya masih terdiam merenung kata.

Mereka melanjutkan perjalanan berbagai rasa. Anak muda yang bersih juga telah berwarna. Dicatatnya satu satu pelajaran yang ada di depan mata.

Maka suatu hari ketika baju anak muda itu sudah menyatu dengan rakyat jelata, air kembali tercurah dengan membabi buta. Anak muda itu ditawari oleh wanita tua untuk melipir ke rumahnya. Wanita tua itu seorang ramah yang terbuka. Segera dia menceritakan putri nya yang tidak berbakti lagi menyenangkan mata. Dilihatnya oleh anak muda itu sebuah bekas luka membujur di lengan wanita tua. Bekas lukanya menutup dengan apik. Bersih dan terawat.

Melihat bekas luka, anak muda itu teringat dengan gubuk tua dan wanita renta. Lantas rasa penasaran menyelimuti pikirannya. Pernah berilmu di sampingnya sudah mengumpulkan segunung jawaban untuk anak mudanya. Namun waktunya belum cukup untuk belajar. Kembali ia menurunkan pandangannya. Menekan keinginannya. Karena tugasnya belum selesai.

“Wanita tua, izinkan aku bertanya tentang bekas luka itu. Itu terlihat dalam namun sembuh dengan kian apik. Bagaimana kamu merawatnya?” ujar anak muda itu. Kramanya kian bagus seiring ilmunya kian banyak. Lalu dilihatnya wanita tua itu terkejut, kemudian mata wanita itu sendu seakan kembali terluka kian dalam di lengannya. Tangannya yang keriput mengelus bekas luka itu. Kemudian tersenyum.