Oleh: Hendrawan, S.T., M.M.

Tata kelola pemerintahan di berbagai negara dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakatnya. Sistem sosial yang meliputi norma, nilai, dan pola interaksi dalam masyarakat memiliki peran sentral dalam membentuk hierarki organisasi pemerintah, gaya kepemimpinan, dan integrasi norma sosial kedalam regulasi pemerintah.

Di sini akan dibahas pengaruh sistem sosial terhadap tata kelola pemerintahan dengan fokus pada peran struktur sosial masyarakat, implikasi pola kepemimpinan tradisional terhadap gaya kepemimpinan modern, dan integrasi norma sosial dalam regulasi pemerintah.

Struktur sosial masyarakat, baik patriarki, matriarki, maupun egaliter, memengaruhi pembentukan hierarki organisasi pemerintah. Dalam masyarakat patriarki, dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan menciptakan struktur hierarki yang cenderung top-down.

Misalnya, banyak negara dengan sistem sosial patriarki menunjukkan konsentrasi kekuasaan pada individu atau kelompok tertentu. Hal ini tercermin dalam bentuk pemerintahan monarki atau oligarki (Gupta, 2006). Sebaliknya, masyarakat matriarki seperti di Minangkabau, Sumatera Barat, memperlihatkan inklusivitas perempuan dalam pengambilan keputusan. Tradisi ini tercermin dalam struktur pemerintahan adat dimana perempuan memiliki hak dalam musyawarah adat (Sanday, 2002).

Masyarakat egaliter, yang menekankan kesetaraan, cenderung membentuk struktur pemerintahan yang horizontal. Negara-negara Nordik seperti Swedia dan Norwegia menunjukkan pengaruh nilai egaliter dalam pembentukan kebijakan publik yang inklusif dan partisipatif.

Di Indonesia, meskipun terdapat pluralitas budaya, pola patriarki sering mendominasi, terutama dalam struktur pemerintahan pusat. Namun, di tingkat lokal, terdapat variasi yang mencerminkan nilai-nilai egaliter dan matriarki (Effendy, 2003).

Kepemimpinan tradisional yang berbasis pada kearifan lokal memiliki pengaruh signifikan terhadap gaya kepemimpinan birokrasi modern. Dalam banyak masyarakat tradisional, pemimpin dihormati karena kharisma, usia, atau silsilah keluarga. Pola ini sering kali melahirkan gaya kepemimpinan paternalistik dalam birokrasi modern, dimana pemimpin diharapkan menjadi figur ayah yang melindungi dan membimbing bawahan.

Di Indonesia, konsep kepemimpinan tradisional seperti “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” (Ki Hajar Dewantara) masih relevan dalam birokrasi modern. Prinsip ini mendorong pemimpin untuk menjadi teladan, pemberdaya, dan pendukung.

Namun, adopsi pola tradisional ini terkadang bertabrakan dengan prinsip-prinsip birokrasi modern yang mengedepankan profesionalisme dan meritokrasi (Prasojo, 2017).