Karya: Azhira Qailani Aptin

Jatuh dari langit, menembus udara, menghantam tanah, datang dengan berbagai bentuk, dari tetesan lembut hingga badai yang mengguncang. Biasanya aku tidak peduli siapa yang aku basahi, siapa yang aku tenangkan, atau siapa yang aku ganggu dengan kehadiranku.

Tapi kali ini kehadiranku dibutuhkan oleh seorang gadis muda yang menjadikan teman dekatnya. Seorang gadis muda yang selalu duduk di meja belajarnya. Matanya kosong, tampak letih. Luna, menjadi panggilan yang sering kudengar memanggilnya.

Hujan turun dengan derasnya, membasahi segala yang ada di sekitarnya. Di balik jendela kamar yang sedikit terbuka, gadis lima belas tahun, kelas sepuluh SMA itu duduk termenung, memikirkan peringkat yang mulai merosot, menjadi sebuah kenyataan sulit yang harus diterimanya. Sebelumnya, dari kelas satu SD hingga kelas sembilan SMP, Luna selalu menjadi yang terbaik. Tetapi, begitu masuk SMA, semuanya berubah. Prestasinya mulai menurun.

“Ibu, maaf aku nggak bisa seperti dulu lagi,” gumamku pelan, menatap buku yang terbuka di depan, dengan mata yang mulai terasa berat, menahan air mata. di luar sana, suara hujan semakin keras. Seolah-olah ingin menutupi berisiknya dunia dengan setiap tetesannya tetapi bagiku, suara itu bisa menenangkan hati.

Dari ruang tamu, terdengar suara ibu yang sedang berbicara dengan lantang,

“Luna, kamu harusnya sadar kalau nilai kamu tuh makin jelek aja! Belajar! Jangan cuma males-malesan!” ucapnya seperti biasa

“Iya mah” balas ku pelan dari kamar

Sebenarnya aku ingin tidak terlalu menghiraukan perkataan ibuku, karena aku tahu meskipun ditanggapi panjang lebar, ibu pasti akan meneriakinya hal yang sama berulang ulang,

Hahh.. Kabur aja dari sini, boleh gak sih?” gumamku pelan yang semakin aneh, entah apa pikirku saat itu. Hanya suara hujan yang membuatku merasa sedikit tenang. Hujan memang selalu datang tepat ketika aku merasa tertekan.

Ayahnya? Ia sibuk dengan pekerjaannya, selalu meninggalkan Luna dengan kesepian. Tak pernah ada waktu untuk keluarga. Di saat-saat seperti ini, hanya suara hujan yang bisa menemani.

Hujan… Suara itu selalu ada, seakan mengerti perasaan Luna. Selalu datang tepat waktu.

Malam itu, saat liburan semester satu tiba, Ibu Luna memaksanya untuk tetap belajar meskipun tidak ada ujian lagi.

“Kamu harus tetap belajar, Luna. Jangan sampai prestasimu semakin menurun.” ucap ibunya lantang.

“Tapi Bu …” belum sempat aku memberi penjelasan, Ibu menyela.

“Ibu yang peringkat mulu dari SD sampai lulus SMA aja, kerjanya cuma gini-gini aja Luna! mau jadi apa kamu baru masuk SMA aja nilai kamu udah turun!”

“Tapi gak semuanya ditentukan oleh peringkat kan Bu” gumam ku pelan, sambil berjalan menuju kamar.

Luna menghela napas panjang. Ia tahu, jika ia menolak, pasti akan ada konsekuensinya. Ibu Luna bukan tipe orang yang mudah dibujuk. Jadi, ia hanya mengangguk pelan.

Seorang teman menelepon dan mengajak Luna pergi jalan-jalan ke pusat kota, Luna ingin merasakan adanya sedikit kebebasan yang bisa ia rasa.

“Ayo, Luna! Kita jalan-jalan sebentar. Masa gak dibolehin!” rayu temannya

Luna menatap ponselnya, berpikir sejenak. Ia ingin sekali keluar, merasakan kebebasan, tanpa harus terjebak dalam tekanan belajar. Tetapi, ia tahu, ibu pasti akan melarangnya.

“Ibuku pasti nggak akan setuju Na,” balas Luna.

Suara hujan semakin deras di luar. Luna merasa seakan hujan itu sedang menemaninya, berbincang dengannya, menyadarkan bahwa ia merasa begitu terkekang.

Ia berpikir sejenak, lalu tiba-tiba, ia merasa sangat ingin melepaskan diri dari semuanya. Matanya yang sudah berkaca-kaca mulai meneteskan air mata. Ia bergegas menutup pintu kamarnya, ingin sejenak menyendiri.

“Kenapa aku harus terus begini?” bisiknya sambil meremas bantal.

Suara hujan yang deras membuatnya merasa sedikit lebih tenang lagi! Hujan selalu datang saat ia merasa sendirian.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Liburan selesai, dan Luna kembali ke rutinitas belajar yang tak pernah berakhir. Nilai-nilainya tetap sama. Tak ada perubahan. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran tanpa ujung.

Hujan kembali turun. Kali ini, lebih ringan, seperti ingin menemani Luna yang terperangkap dalam kesepian.

Hari ini kedua orang tua Luna pergi bekerja bersama, ia memutuskan untuk mengambil kesempatan ini. Tanpa berpikir panjang, ia pergi ke pusat kota, meski hujan masih mengguyur. Luna merasa sedikit bahagia. Tak ada beban yang terasa, meskipun hanya untuk sementara.