Catatan Kritis untuk Pengemban Amanah

Oleh: Rusmin Sopian

Negeri ini sungguh lucu. Setiap ada narasi tentang “reshuflle” , baik di tingkat nasional hingga ke daerah, seketika itu dengungan soal siapa yang pantas dan sangat pantas mengemban amanah, mengukir semesta. Mewarnai alam. Mengornamen cakrawala kehidupan.

Menjadi trending. Menjadi pembicaraan. Mengemuka hingga ke ruang-ruang istimewa bahkan pribadi.

Menjadi istimewa, ketika ada yang merasa pantas bahkan sangat pantas untuk mengemban amanah. Lalu kasak kusuk mencari ruang lobi. Mendekati orang dekat pemimpin. Merendahkan diri dihadapan sang pemberi amanah.

Padahal prestasinya saat mengemban amanah biasa-biasa saja. Kalau tidak mau disebut monoton. Tidak ada kreativitas saat memegang amanah. Hanya sekedar menjalankan rutinitas.

Jangankan untuk mengeskalasi nama daerah di panggung terhormat, bahkan terkadang jabatan yang diembannya membuat publik susah. Menyusahkan bawahan. Memalukan sang pemberi amanah.

Dan hebatnya , selalu menjadikan pemberi amanah sebagai apologi Ketika prestasinya biasa saja. Selalu berlindung di bawah ketiak pemimpin.

Seolah-olah tidak bisa hidup dan kehidupan tanpa jabatan. Padahal rakyat tanpa jabatan mampu hidup dan berkehidupan.

Padahal begitu banyak yang tidak memiliki jabatan di pemerintahan, namun nama baiknya tetap dikenang publik hingga akhir zaman. Dan ada pula yang berjabatan tinggi, namun seolah tidak ada kenangan di hati publik.

Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah tepat pada hari Jumat, 10 Shafar 99 Hijriyah, pemimpin besar itu menangis terisak-isak.

Beliau memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesenggukan seraya berkata, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun.”

Kemudian Umar bin Abdul Aziz berujar, “Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikitpun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan.”

Tangisan itu mungkin aneh bagi kebanyakan orang era sekarang. Tetapi itu adalah fakta sejarah dan tentu saja didasari oleh sebuah alasan yang jelas.

Sangat mungkin, Umar bin Abdul Aziz menangis karena khawatir akan keadaan dirinya kelak di hari akhir. Sebab, amanah yang diembannya amat berat dan tidak main-main.

Jabatan bukan fasilitas tapi pengorbanan. Bukan leha-leha tapi kerja keras. Bukan pula kesewenangan bertindak tapi kewenangan melayani. Dengan mengemban amanah adalah pelopor keteladanan berbuat.

Jabatan menjadi nikmat tatkala jabatan dilaksanakan secara amanah. Jabatan digunakan untuk memakmurkan alam semesta dan kemaslahatan seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Hal ini terlihat jelas bagaimana Rasulullah memikul amanah sebagai Rasul dan khalifah dengan amanah yang agung.