Gep-Gep Ser Pilkada
Oleh: Yan Megawandi
Pilkada sudah selesai. Bayang-bayang siapa yang kalah dan menang semakin tampak nyata. Bila semula tergambar dalam hasil hitung cepat alias quick count, maka sekarang banyak kandidat sudah cukup percaya diri dengan pengumuman KPUD yang menyatakan jumlah suara berdasarkan hasil penghitungan nyata yang dilakukan oleh KPUD di masing-masing daerah.
Tentu saja akan muncul drama-drama berikutnya. Di beberapa daerah ada sejumlah pasangan calon yang merasa kurang puas dengan hasil pengumuman KPUD tersebut. Akibatnya terdapat pasangan yang menyatakan tak mau menandatangani berita acara hasil pengumuman KPUD tadi. Beberapa pasangan juga kemudian mengumumkan akan mengajukan keberatan dengan memasukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Begitulah kira-kira gambaran manakala harapan yang tadinya melambung tinggi untuk menang mesti kandas di tengah kenyataan. Dinyatakan kalah! Berapa pun selisih suaranya. Ada yang cukup jauh angkanya seperti yang terjadi di pilkada Jakarta. Adapula yang relatif sedikit. Namun sekali lagi, tetap kalah.
Salah satu alasan pengajuan keberatan terhadap hasil pilkada seperti yang disampaikan di atas berawal dari rasa kecewa. Tentu saja kemasannya bisa beraneka rupa. Adanya tuduhan pelanggaran, kecurangan, ketidakjujuran, sampai kepada penyelenggara yang dianggap tidak adil dan memihak.
Ada pula alasan lain yang sering disampaikan para pengamat amatir di warung-warung kopi. Di kelompok pengamat ini sudut pandang analisis berlangsung sangat cair, tak perlu pula data-data yang terlalu akurat, apalagi teori dan konsep ilmu politik yang agak rumit. Bisik-bisik tetangga pun terkadang bisa dijadikan sumber data dan dianalisis. Dari ranah ini bahkan kemudian muncul pula alasan lain pengajuan gugatan hasil pilkada sampai ke MK. “
Gugatan itu dilakukan pasangan calon karena untuk mengesankan bahwa mereka berjuang sungguh-sungguh,” ujar seorang pengamat amatir sambil menghirup kopi dan mengambil sebatang rokok. “Mereka ingin terlihat serius terutama di mata para penyandang dana alias sponsor politik, alias bohir politik yang selama ini berada di balakang layar”. Lalu, siapakah para bohir ini?
Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, menyampaikan siapa para bohir itu dalam acara Rembuk Pilkada 2024 bertajuk Menghalau Money Politics, Hoaks dan Polarisasi yang digelar oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DIY, Rabu (25/9/2024) di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Cik Ditiro, Jogja (harianjogya.com). Menurutnya, uang merupakan salah satu kunci sukses dalam pemenangan pilkada. Untuk mendapatkan uang yang tak sedikit itu, tentu perlu sumber pendanaan. “Uang itu dari mana? Tidak sulit untuk menebak, uang itu pasti dari sponsor atau yang sering disebut sebagai bohir politik,” katanya.
Masih menurut Busyro, para bohir politik tentu tidak akan berhenti setelah menghantarkan calon kepala daerah yang disponsorinya menang dalam pilkada serentak. Bohir politik itu disebutnya tentu akan menagih peraturan daerah yang memudahkan usaha dan kepentingannya.
Busyro menyebut, tindakan demikian tentu bukan saja pengkhianatan terhadap demokrasi. tetapi melainkan juga penghinaan dan penistaan terhadap rakyat yang berdaulat. “Kalau pilkada disponsori oleh para bohir politik, itu jadi sebuah terorisme politik yang nyata,” katanya.
Biarlah urusan tagih menagih janji antara para bohir dengan para kontestan pilkada jadi urusan mereka saja dulu yang bisa saja terkubur dengan tawa canda kemenangan atau isak tangis kekalahan. Kita bergeser saja kepada babak lain dari dampak kemenangan atau kekalahan pilkada.
Beberapa pihak pastilah merasa mulai makan tak enak dan tidur pun tak nyenyak. Mereka ini terutama berada di barisan laskar yang selama ini berteriak-teriak dan bergerak membela para junjungannya yang jadi kandidat pilkada namun harus menerima kenyataan pahit. Kini mereka jadi pihak yang menderita kekalahan. Dalam bahasa lokal Bangka mereka bisa dianggap sedang mengalami perasaan gep-gep ser.
Apa itu gep-gep ser? Saya menanyakan istilah ini kepada salah seorang penulis budaya Bangka, Ichsan Mokoginta, melalui aplikasi WhatsApp. Menurutnya, gep-gep ser bisa diartikan sebagai rasa khawatir, takut, was-was, syak wasangka. “Banyak Bang arti e,” tulis Ichsan. Namun intinya secara umum istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan perasaan cemas, khawatir alias kededep, atau sport jantung.
Penderita gep-gep ser ini tentu saja tidak sedikit. Kelompok ini terutama adalah orang yang selama ini entah terpaksa atau dengan penuh niat dan kesadaran ikut cawe-cawe di pelaksanaan pilkada. Caranya macam macam. Atau mereka yang selama ini memperoleh kursi jabatannya karena memiliki hubungan yang erat dengan kepala daerah. Apalagi jika selama menjalankan jabatan tadi yang bersangkutan dianggap bersikap berlebihan, sok kuasa, otoriter, dan atau menyalahgunakan jabatannya buat kenikmatan sendiri atau kelompoknya saja.