Efek Brainrot di Era Digital
Oleh: Hendrawan
Istilah “brainrot” atau “pembusukan otak” semakin populer sebagai metafora untuk menggambarkan penurunan kognitif akibat konsumsi konten digital berkualitas rendah secara berlebihan.
Fenomena ini dipilih sebagai Oxford Word of the Year 2024 karena relevansinya dengan gaya hidup masyarakat modern yang terpaku pada layer (Demystifying the New Dilemma of Brain Rot in the Digital Era. PMC, 2025) (Oxford Word Of The Year, ‘Brain Rot,’ Defines Our Screen-Fixated Times. Forbes, 2024).
Dalam konteks organisasi pemerintah, brainrot tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga berpotensi mengganggu produktivitas, pengambilan keputusan, dan kualitas layanan publik.
Tulisan ini menganalisis dampak brainrot pada aktivitas pemerintahan di era digital, didukung oleh landasan teori ilmiah, serta merekomendasikan strategi mitigasi berbasis bukti.
Landasan Teori
1. Dopamine Hijacking Theory
Sistem dopamin, neurotransmitter yang bertanggungjawab atas rasa senang dan motivasi, menjadi kunci dalam memahami adiksi digital. Paparan konten instan di media sosial memicu pelepasan dopamin berulang, menciptakan siklus kecanduan.
Menurut Manwell (dalam laporan Dinas Komunikasi Kota Cirebon), stimulasi berlebihan ini mengurangi kemampuan otak untuk fokus pada tugas-tugas kompleks (Waspada Brain Rot, Ancaman Akibat Konsumsi Konten Online Kualitas Rendah secara Berlebihan.
Dinas Komunikasi Kota Cirebon, 2025) (Menjelajahi fenomena ‘Brain Rot’ di era digital. ANTARA News, 2025.) Penelitian Moshel et al. (2023) juga menunjukkan bahwa doomscrolling dan zombie scrolling mengganggu fungsi eksekutif seperti perencanaan dan pengambilan keputusan (The effects of ‘brain rot’: How junk content is damaging our minds. EL PAÍS, 2024) (The impact of the digital revolution on human brain and behavior. PMC, 2020).
2. Attention Economy
Attention Economy, konsep yang dijelaskan dalam studi sosiologis oleh Anurogo (2025), menjelaskan bagaimana platform digital dirancang untuk “mencuri” perhatian pengguna melalui algoritma yang memprioritaskan konten sensasional.
Hal ini menyebabkan fragmentasi kognitif dan ketidakmampuan menyelesaikan tugas administratif yang membutuhkan konsentrasi tinggi (Menjelajahi fenomena ‘Brain Rot’ di era digital. ANTARA News, 2025).
3. Cognitive Load Theory
Teori beban kognitif (Sweller, 1988) menyatakan bahwa otak memiliki kapasitas terbatas untuk memproses informasi. Studi PMC (2025) menemukan bahwa multitasking digital—seperti membuka banyak tab browser sambil mengecek notifikasi—meningkatkan cognitive overload, sehingga mengurangi efisiensi kerja (Demystifying the New Dilemma of Brain Rot in the Digital Era. PMC, 2025) (The impact of the digital revolution on human brain and behavior. PMC, 2020).
4. Social Comparison Theory
Festinger (1954) menjelaskan bahwa individu cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Di media sosial, budaya comparison ini memperparah kecemasan dan penurunan harga diri di kalangan pegawai pemerintah, terutama ketika melihat pencapaian kolega yang ditampilkan secara selektif (Brain Rot: Fenomena Media Sosial yang Mengancam Kesehatan Mental.” RSMM Bogor, 2025) (Brain Rot: The Impact on Young Adult Mental Health.” Newport Institute, 2024).
Fenomena Brainrot dalam Organisasi Pemerintah
1. Penurunan Produktivitas dan Kualitas Layanan
Penelitian di PMC (2025) menunjukkan bahwa paparan notifikasi terus-menerus mengganggu sustained attention—kemampuan untuk fokus pada satu tugas dalam waktu lama (Demystifying the New Dilemma of Brain Rot in the Digital Era. PMC, 2025).