Apakah Nadiem Makarim Masih Layak Memimpin Pendidikan Indonesia?
Apakah Nadiem Makarim Masih Layak Memimpin Pendidikan Indonesia?
Oleh: Mutiara Zalna Azizah — Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
“Revolusi tak selalu berarti kemajuan. Di tangan yang salah, inovasi bisa jadi eksperimen yang gagal”
Ketika Presiden Jokowi menunjuk Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan, banyak pihak menaruh harapan besar. Sosok muda, berlatar belakang teknologi, dan bebas dari belenggu birokrasi tradisional dianggap sebagai napas segar dalam dunia pendidikan yang stagnan. Namun, lima tahun berselang, muncul perasaan krusial: apakah Nadiem masih layak memimpin?
Ketika Nadiem Anwar Makarim diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019, banyak kalangan menyambutnya dengan rasa penasaran sekaligus harapan. Ia datang dari dunia teknologi, bukan dari birokrasi atau pendidikan. Ia dikenal sebagai pendiri gojek, simbol keberhasilan anak muda Indonesia yang mampu menciptakan gebrakan melalui inovasi digital. Maka, kehadirannya di kementrian yang selama ini dikenal kaku dan lamban dianggap sebagai sinyal perubahan besar.
Awal masa jabatan Nadiem ditandai dengan semangat reformasi yang tinggi. Ia memperkenalkan kampus merdeka dan kurikulum merdeka, membatalkan ujian nasional, serta mendorong digitalisasi pendidikan. Bagi sebagian kalangan, ini merupakan langkah progresif. Tapi bagi banyak guru, siswa, dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya terutama di wilayah tertinggal. Kebijakan ini terasa dipaksakan, terburu-buru, dan minim kesiapan.
Kontroversi terbaru yang menjerat Nadiem bukan sekadar kritik kebijakan, tapi sudah menyentuh ranah dugaan penyimpangan hukum administratif dan etik pengelolaan anggaran negara. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun terakhir menyebut adanya penggunaan dana pendidikan yang tidak sesuai prosedur, termasuk proyek digitalisasi sekolah yang dinilai tidak transparan dalam pengadaan.
Namun semangat modernisasi ini tidak luput dari sorotan tajam lembaga negara audit negara. BPK dalam audit terbarunya menyoroti adanya ketidaksesuaian penggunaan anggaran dalam proyek digitalisasi sekolah. Laporan menyebutkan bahwa penggadaan tablet dan perangkat teknologi dilakukan tanpa kajian kebutuhan yang jelas, bahkan ada indikasi mark-up harga serta penggadaan alat yang tidak bisa digunakan optimal.
Bila dugaan ini benar, maka muncul potensi pelanggaran terhadap UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengatur bahwa setiap pengelolaan anggaran negara harus dilaksanakan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Dalam hal ini, bukan hanya tanggung jawab teknis, tapi juga tanggung jawab hukum dan politik menteri sebagai pengguna anggaran tertinggi di kementrian.