DI PANGKALPINANG

di pangkalpinang
aku mendalami nasib
yang telah berjilid-jilid kubaca:
— pada halaman wilhelmina
yang rentan mengguncang ingatan lampau
teruntuk kebebasan
yang sempat terhitung
— pada anak-anak tangga ramayana
yang memanggil-manggil jantung
untuk sampai ke mata
lalu membuat langkah panjang-panjang
menuju pecahan rupiah
yang mulai lunglai
— pada pasir padi
yang buihnya lenyap
dalam pandangan malam
saat-saat perjamuan lautan
menyisakan badan sebatang
ialah kesenyapan hati
sedang,
— pada ibu kota
aku mulai mengeja kebijakan-kebijakan
di lumbung timah, di rahim padi, di seraup pantai, dan di sejunjung lada
adakah aku, kamu, kami, kita, dan
anak cucu
di sana?

adalah nasib
yang menghunus takdir

Toboali, 12 Mei 2022

 

DI DEPOK

di depok, kuhunus pedang
untuk memenggal detak detik
yang kerap meninggalkan keinginanku
: tahu-tahu aku tua dalam ilmu
tanpa membagi temu