Rupa Padam Ranuman
Karya: Sudi Setiawan
Darsono kembali bertanya pada anaknya, Ranuman, kapan ia bisa pulang ke rumah yang sudah lama mereka tinggal. Darsono mengeluh, mimpinya beberapa hari ini selalu bertemu dengan Parinah yang sudah lama mati. Parinah sendiri adalah istrinya, ibu dari Ranuman yang dulu mati sebab demam chikungunya.
Lelaki tua yang menghabiskan saban waktu di kursi roda yang telah usang, Darsono hanya berteman pada kesepian bersama radio tua dan barang kali, Munim datang karena kelaparan.
Setelah ditinggal mati Parinah, Darsono juga hampir mati karenanya. Ditinggal teman hidup, teman sedipan dan tempat di mana Darsono tak enggan berkeluh kesah perihal cacatnya yang sudah membebani diri selama ini.
Sore itu, jarum jam baru menunjukkan angka genap, sejam yang akan datang, Ranuman biasanya akan pulang setelah kerja di ladang milik bos yang terkenal medit. Walaupun terkenal pelit, satu-satunya orang yang mau menerima pekerjaan dari Ranuman hanyalah dirinya yang terkenal dengan kumis tebal dengan rambut dikepang ke belakang.
Masih di tempat yang sama, kursi kayu dari pohon nyatoh yang terasa seratnya diduduki serta telah uzur dimakan waktu. Tapi bagi Darsono, sekeras apa pun kayu nyatoh itu akan terasa empuk karena Ranuman membawanya dari hutan keramat.
Sembari mengotak-atik mencari sinyal radio yang hilang, Ranuman datang dengan rupa yang kesuh.
“Kenapa?” Ranuman memperhatikan geliat bapaknya.
“Tak ada sinyal…,” Darsono menghela nafas.
“Bapak sudah makan?”
“Menunggumu…,” Darsono mendongakkan kepalanya, melihat tubuh kekar milik anaknya.
Keduanya memandang, entah perasaan semacam apa yang telah membuat rupa anaknya padam, sepadam rembulan awal bulan. Rupanya lelah, bibirnya pecah-pecah kemerahan dan semacam luka menyayat pipinya yang kurus.
“Wajahmu kenapa, Ranuman?” Risaunya, memandangi wajahnya sang anak yang terluka.
“Sewaktu menebang, tak sengaja bilah kayu menghantam badanku,” Jelas Ranuman, sembari mengeluarkan buah Malik yang ranum warnanya.
“Kau tak apa?” sekali lagi, semacam khawatir terhadap sang anak.
“Tak, Pak,” Ranuman mengukir senyum yang karat.
*
Kala Ranuman dilahirkan dari rahim Parinah yang masih belia, Darsono muda sudah bertekat tak akan lagi meminta sang istri itu untuk mengandung anak-anak yang malang darinya. Rasa sakit yang dilewati Parinah sangat membuat hati terisak perih. Lelaki itu seperti kehilangan hasrat hidup sebelumnya, ketika melihat istrinya sekarat.
Darsono memegang erat Parinah yang bersusah payah melahirkan buah hati yang telah dibawanya selama sebelas bulan. Masa yang sudah lewat waktunya melahirkan seorang bayi. Kata dukun beranak dari desa seberang, Parinah bisa saja mati kalau terlambat mengeluarkan sang bayi yang sungsang.
Berkat ajian Atuk Mar dengan beberapa obat-obat dari hutan keramat, Parinah dapat sedikit lega ketika air rebusan akar itu lolos melenggang kerongkongan yang sudah kering kerontang. Parinah, mengedan sekuat tenaga demi sang anak yang sungsang.
Tengah malam, bayi itu lahir dengan sehat, bermuka lonjong dengan garis mata yang halus bercampur air ketuban yang bening. Mata Darsono sembab. Antara senang dan haru menenggelamkan hatinya yang kalut sedari malam.
“Ranuman,” ungkapnya, ketika Dakiah-adik perempuannya bertanya nama apa yang akan diberikan pada sang bayi.
Dukun beranak yang membantu melahirkan anaknya meminta Darsono untuk mengambil azimat di lumbung miliknya, sebab azimat itu untuk menangkal roh-roh jahat yang menyukai aroma wangi sang bayi.
Dengan sepeda kayuh milik pak Rumadi tetangganya, Darsono bergegas menuju rumah dukun beranak tanpa penerangan sepanjang jalan.
Kayuhan Darsono membabi-buta, turunan yang cukup dalam itu menjadi bencana kala Darsono tak menahu bahwa sepeda yang ia kendarai tak memiliki rem yang pakem. Nahas, ia tergelincir ketika roda menabrak bongkahan batu yang kerap kali sengaja dipasang di jalan oleh anak-anak nakal.
Benturan keras, membuatnya tak bisa bergerak sesaat. Badannya kaku dan linu-linu tak mereda. Hampir dua puluh menit meminta tolong. Malangnya, angin malam dan nyanyian suntuk itu seakan menertawai raungan kesakitan Darsono yang sungkur di tepi jalan.