Rahasia Seorang Guru Muda
Karya: Sheila Fiorencia Caroline
Lonceng berdentang menandakan telah waktunya istirahat. Suasana yang sama terjadi di SMA Negeri Dirgantara setiap kali jam istirahat berbunyi. Satu-persatu siswa keluar dari kelas mereka masing-masing. Sekelompok gadis akan keluar beriringan sambil berbisik-bisik atau bahkan bergosip.
Beberapa gadis lain membawa buku mereka keluar bersama mereka, entah untuk belajar, kerja kelompok, atau bahkan hanya untuk cari muka di depan guru. Sekelompok laki-laki akan berhamburan berjalan keluar, seradak-seruduk bagai banteng yang mengamuk. Beberapa laki-laki lain berjalan menuju ruang ekstrakurikuler masing-masing. Beberapa lainnya keluar membawa gandengan.
Bagaimana dengan orang-orang seperti aku yang biasa-biasa saja? Orang-orang yang biasa saja seperti aku, tidak memiliki banyak teman dan tidak memiliki prestasi apa-apa, terkadang tersebar di banyak tempat. Ada yang tetap berdiam diri di kelas, ada yang langsung pergi ke kantin dan mencoba menikmati makanan mereka dengan tenang, ada yang pergi ke perpustakaan, ada yang duduk di pinggir lapangan, ada pula yang bahkan hanya berdiri atau duduk termenung di satu tempat.
Terkadang mereka sendirian, terkadang ada satu atau dua teman yang menemani. Untuk kasusku, aku selalu bersama seorang teman. Kami sudah saling kenal sejak SD, jadi sampai sekarang ke mana-mana kami selalu berdua.
Kami memiliki beberapa kecocokan dalam karakter dan sifat. Aku bukan tipe orang yang suka yang suka berkumpul dengan banyak orang, begitu juga dia. Aku suka membicarakan hal-hal yang tidak banyak orang sukai, begitu juga dia.
Topik pembicaraan kami beragam dari isu-isu gelap dalam sekolah, rahasia umum siswa-siswi SMA Negeri Dirgantara, kisah mistis yang kadang dialami oleh siswa-siswi SMA Negeri Dirgantara. Jangan heran dengan banyaknya kisah yang tak terduga nantinya. Karena sekolah ini tak seindah namanya.
Hari ini kami janjian di kantin sekolah. Tak seperti biasanya, temanku datang agak lambat dari biasanya. Saat dia datang, dia tampak bersemangat seperti dia memiliki sesuatu yang “penting” untuk dibicarakan.
“Dina, tumben telat. Biasanya belum bel istirahat juga udah sampai di kantin,” ujarku sambil menautkan satu alis.
Mendengar ocehanku, Dina hanya terkekeh pelan sebelum duduk tepat di hadapanku, “Kau tidak akan percaya dengan apa yang terjadi di kelasku.”
“Memangnya kenapa dengan kelasmu?”
“Kau tau Pak Erwin, kan?”
Mendengar nama Pak Erwin, aku langsung memutar mata malas. Kenapa? Karena Pak Erwin adalah guru yang cukup menyebalkan untuk seorang guru baru yang masih muda. Tabiatnya bagai guru tua yang ingin dijunjung tinggi. Aku tidak bisa melupakan ketika dia mengusirkan dari kelas karena salah paham mengira aku tidak memperhatikannya, padahal aku hanya mencoba mencatat apa yang ia terangkan.
“Aku malas membicarakannya, Dina.”
Dina mengerucutkan bibirnya, “Kau ini jutek sekali. Mungkin ini akan membuatmu tertarik.”
Dina menyodorkan sebuah gambar di dalam handphone-nya padaku. Apa yang ada di sana membuatku membulatkan mataku. Pak Erwin bersama seorang siswi sedang berpelukan sambil berciuman.
“Din, dari mana kau dapat foto ini–?!” Ucapanku terpotong saat Dina menempelkan jari telunjuknya di bibirku.
“Ssst… pelan-pelan, nanti yang lain dengar.”
Mendengar itu, aku langsung jadi sadar diri. Aku menghela napas panjang sebelum berkata, “Oke, ceritakan kepadaku.”
Mendengar itu Dina langsung menyeringai, sungguh gadis yang berbahaya pikirku, namun di sisi lain aku menyukainya, “Nah, kau lihat tempatnya, kan?”
Foto itu sepertinya diambil dari bilik atas toilet perempuan. Bilik-bilik WC perempuan memiliki sekat dan ada sebanyak 10 buah. Bagaimana orang-orang ini bisa ceroboh melakukan hal seperti itu di dalam toilet perempuan yang notabene pastinya dipakai banyak siswi. Namun, yang lebih membuatku geleng-geleng kepala adalah Dina berani memanjat toilet untuk mengintip keadaan toilet sebelahnya dan mengambil gambar kontroversial itu.
“Bisa-bisanya kau berani seperti itu. Kalau Pak Erwin memergokimu bagaimana? Lagipula… kok bisa mereka begitu di toilet perempuan?! Aku benar-benar tidak habis pikir.”
“Hei, hei, jangan salah sangka dulu. Mereka melakukannya tidak sembarangan seperti yang ada dalam pikiranmu. Kau tahu bilik toilet paling ujung di WC kita?”
Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya teringat sesuatu, “Tunggu, bukannya bilik itu sudah lama rusak. Tidak ada yang pernah pakai itu lagi, kan?”
“Tepat sekali! Terus siswi-sisiwi di sini juga tidak berani memakai bilik yang berdekatan dengan bilik itu karena hawanya tidak mengenakkan. Mereka pakai kesempatan ini untuk berbuat begitu.”
“Astaga, apa-apaan ini? Kau sendiri bagaimana bisa tau mereka ada di sana.”