Oleh: Yan Megawandi

Bisakah anda membayangkan bagaimana pusingnya Shin Tae-yong alias STY bila mendapatkan situasi pelik. Sebagian besar pemain andalannya tak bisa dimainkan karena berbagai alasan. Entah itu cedera, akumulasi hukuman, atau sebab lainnya. Pokoknya tak bisa dimainkan.

Misalnya saja Paes tak bisa berdiri di bawah mistar gawang , sementara Thom Haye, Idzes, Verdonk, Justin Hubner, Rizky Ridho, Ragnar Oratmangoen, atau Struick juga berhalangan turun main. STY tentu saja akan mengalami kesulitan sehebat apapun dia.

Kondisi serupa inilah mungkin yang sekarang dirasakan pula oleh Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Sugito. Bayangkan, hampir separuh pejabat eselon 2 bahkan eselon 1 yang saat ini bertugas membantunya menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi sehari-hari, adalah para pemain cadangan. Bukan dalam arti kapasitas mereka tetapi dalam status dan kedudukan mereka pada jabatan.

Berdasarkan perhitungan sementara saya, setidaknya ada sekitar 15-an orang pejabat di Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung saat ini yang berstatus sebagai “pemain cadangan” tadi, belum termasuk kekosongan pada jajaran eselon 3 di bawahnya.

Lihatlah para pejabat sementara itu dimulai dari Pj. Sekretaris Daerah, Plt. Asisten 1 Bidang Pemerintahan, Plt. Asisten 2 Bidang Pembangunan, Plt Inspektur, Plt. Kepala Dinas Koperasi dan UMKM, Plt. Kepala Dinas ESDM, dua orang Plt. Staf Ahli Gubernur dan masih banyak lagi. Ada yang memang kosong karena pejabat lamanya telah purna tugas atau mereka sedang menjalankan tugas sebagai penjabat kepala daerah seperti Kepala Bakuda, M Haris; Kepala BPBD, Mikron Antariksa; dan Kepala Dinsos, Budi Utama yang masing-masing bertugas di Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung, dan Kota Pangkalpinang. Jadilah kemudian para pejabat yang ada dan tersisa ini terpaksa memainkan dua peran. Peran dalam jabatan resminya dan peran sebagai penjabat sementara.

Dampak yang Mungkin Terjadi

Ada beberapa kondisi yang mungkin akan terjadi bila sebagian besar pejabat pemerintahan dijalankan oleh pejabat sementara, atau yang sering disebut Plt. (Pelaksana Tugas) maupun Pj. (Penjabat) tersebut. Dampak yang mungkin terjadi meliputi dua aras kepentingan yaitu pada mutu pelayanan publik dan penyelesaian masalah yang terjadi, serta dampak yang akan ditanggung oleh kepala daerah sendiri.

Dalam hal penyelesaian masalah pelayanan publik dan penyelesaian masalah, yang pertama, pelayanan publik menjadi tidak optimal. Hal semacam ini dapat terjadi karena pejabat sementara biasanya memiliki kewenangan yang terbatas dibandingkan pejabat definitif. Mereka cenderung ragu mengambil keputusan besar atau kebijakan strategis, karena tidak memiliki legitimasi penuh. Ini bisa menyebabkan pelayanan publik menjadi tersendat atau bahkan stagnan, terutama dalam hal keputusan penting yang menyangkut anggaran, kebijakan, atau program jangka panjang.

Kedua, penyelesaian masalah menjadi lebih lambat. Kondisi berstatus sementara itu seringkali menyebabkan seorang pejabat mungkin akan lebih berhati-hati dalam mengambil risiko. Mereka akan cenderung menghindari keputusan kontroversial atau yang memerlukan tanggung jawab besar. Akibatnya, penyelesaian masalah yang kompleks dan mendesak bisa menjadi terhambat, sehingga proses birokrasi menjadi lebih panjang dan lamban. Hal ini bisa berdampak negatif terhadap program-program pembangunan atau pelayanan yang mendesak, misalnya di sektor-sektor pelayanan dasar.

Ketiga, kebijakan jangka panjang menjadi kurang terarah. Pejabat sementara seringkali hanya fokus pada tugas-tugas harian dan menjaga agar roda pemerintahan tetap berputar. Namun, mereka mungkin kurang berani merumuskan atau melaksanakan kebijakan strategis jangka panjang yang membutuhkan visi kuat dan keberanian untuk mengambil risiko. Hal ini bisa mengakibatkan stagnasi dalam inovasi atau perbaikan pelayanan.

Keempat, kemungkinan terjadinya ketidakstabilan di dalam pemerintahan. Jika sebagian besar jabatan diisi oleh pejabat sementara, bisa timbul ketidakpastian di dalam tubuh pemerintahan. Pejabat karier atau staf di bawah mereka mungkin merasa tidak ada arah yang jelas, karena pejabat sementara umumnya dipandang tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membawa perubahan. Ini dapat mengurangi motivasi kerja dan kinerja pegawai, serta menciptakan suasana yang tidak kondusif dalam birokrasi.

Sedangkan kemungkinan dampak yang akan dialami oleh kepala daerah antara lain kepala daerah yang memimpin dengan banyak pejabat sementara di bawahnya akan menghadapi tantangan besar dalam hal koordinasi dan efektivitas pemerintahan.

Kepercayaan masyarakat terhadap kepala daerah bisa menurun jika pelayanan publik terganggu atau kebijakan strategis tak berjalan dengan baik. Selain itu, kepala daerah mungkin harus lebih sering turun tangan dalam pengambilan keputusan operasional, karena pejabat sementara cenderung lebih bergantung pada instruksi dari atasan.