Oleh: Yan Megawandi

Di penghujung tahun 2024 dan awal tahun 2025, sebuah peristiwa menarik terjadi di Pulau Belitung yang menyentuh banyak hati, baik masyarakat lokal maupun mereka yang menyaksikan perjalanan identitas daerah ini. Peristiwa tersebut adalah perubahan nama kawasan yang terletak di jantung Kota Tanjungpandan. Kawasan yang sebelumnya dikenal dengan nama Satam Square kini resmi berubah menjadi Bundaran Satam.

Perubahan ini menjadi simbol kebanggaan bagi masyarakat Belitung, yang tidak hanya mengedepankan identitas lokal, tetapi juga memperlihatkan komitmen pejabat publik untuk menjaga kearifan budaya sambil terus membuka diri untuk perkembangan global.

Penjabat Bupati Belitung, Mikron Antariksa, memutuskan untuk meresmikan nama baru Bundaran Satam pada malam pergantian tahun 2024 ke 2025. Keputusan ini didasari oleh beberapa alasan penting yang menunjukkan kedalaman wawasan Mikron dalam menjaga warisan budaya lokal sambil tetap menjaga keterbukaan terhadap perkembangan zaman.

Pertama, Mikron menjelaskan bahwa nama Satam Square tidak memiliki dasar hukum atau surat keputusan yang mengesahkan penggunaannya. Kedua, perubahan nama ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang mengatur penggunaan nama asing pada fasilitas umum, serta menegaskan pentingnya penggunaan nama lokal sebagai bagian dari identitas bangsa. Ketiga, perubahan ini berawal dari aspirasi masyarakat yang menginginkan adanya nama yang lebih resmi dan memiliki kesan kuat akan jati diri daerah, yang sudah lama dikenal sebagai Bundaran Simpang Lima.

Namun, cerita tentang perubahan nama kawasan ini sebenarnya tidak lepas dari sejarah panjang perdebatan mengenai identitas dan bahasa di Pulau Belitung. Pada 2019, misalnya, masyarakat Belitung sempat digegerkan dengan pemasangan tulisan Satam Square di Tugu Satam. Pemasangan nama tersebut dilakukan untuk menyatukan berbagai sebutan yang sudah ada sebelumnya, seperti bundaran simpang lima, tugu satam, dan beberapa sebutan lainnya.

Pemilihan kata Square sendiri yang berbahasa Inggris dipilih untuk memberikan kesan modern dan menyambut wisatawan asing yang datang ke Pulau Belitung. Penggunaan bahasa Inggris ini bertujuan untuk menampilkan kesiapan daerah dalam menghadapi globalisasi, tetapi di sisi lain, tidak sedikit yang merasa bahwa hal tersebut mengabaikan kekayaan kearifan lokal yang ada.

Salah satu alasan penggunaan nama Satam Square antara lain karena merupakan bagian simbol dari dukungan diajukannya Belitung sebagai Kawasan Global Geopark. Hal tersebut diawali oleh telah diterimanya status Belitung sebagai Kawasan Geopark nasional oleh kementerian ESDM di penghujung tahun 2017.

Di sinilah pentingnya pemahaman mengenai keseimbangan antara mengangkat kearifan lokal dan tetap relevan dengan perkembangan global. Perubahan nama dari Satam Square menjadi Bundaran Satam mengingatkan kita bahwa ada momen-momen di mana kita harus mengutamakan kebanggaan terhadap identitas lokal yang telah terbentuk selama berabad-abad.

Kearifan lokal seperti penggunaan dialek Melayu Belitung, yang tercermin dalam nama-nama desa seperti Kampong yang sedikit berbeda berbeda dengan ejaan bahasa Indonesia Kampung, adalah contoh kecil dari bagaimana identitas lokal dapat dipertahankan dan dihargai.