Pilkada dan Pelajaran dari Ahok
Oleh: Yan Megawandi
Membaca sejumlah berita tentang hasil keputusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, entah mengapa saya tiba-tiba jadi teringat percakapan dengan Basuki Tjahaja Purnama beberapa tahun silam. Perbincangan kami berlangsung di tengah hingar bingar acara malam peringatan Imlek di Desa Kenanga, Sungailiat, Kabupaten Bangka.
Kami di Bangka memiliki tradisi merayakan bersama acara seperti ini, misalnya dengan menyelenggarakan sebuah festival. Namanya Festival Imlek. Waktu itu Ahok, begitu sapaan akrabnya, sedang hadir di acara yang sangat meriah itu sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar yang mewakili Bangka Belitung.
Ada beberapa pertanyaan yang saya ajukan karena duduk bersebelahan dengannya. Salah satunya tentang babak lanjutan Pilkada Bangka Belitung, mengapa tidak meneruskan gugatan lagi ke Mahkamah Konstitusi terkait kekalahannya pada pilkada waktu itu. Ahok alias BTP, yang waktu itu berpasangan dengan Eko Cahyono, harus menerima kekalahan menyakitkan.
Pasangan Basuki Tjahaja Purnama – Eko Cahyono kalah dalam Pilkada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berlangsung 22 Februari 2007 silam. Pada Pilgub Babel 2007 itu, Ahok dan Eko Cahyono didukung 16 partai-partai kecil dan hanya mampu meraih peringkat kedua dengan perolehan suara 32,42%. Sementara, Eko Maulana Ali – Syamsudin Basari yang didukung koalisi PBB, PKS, PAN, dan PD, meraih 35,42 persen. Selisih suara yang tergolong tipis.
Pada 2007, dalam riuh Pilkada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, seorang Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang saat itu masih baru dalam kancah politik Indonesia, mengalami sebuah kekalahan yang cukup menyakitkan. Bagi Ahok, yang dikenal lantang dan penuh semangat, kekalahannya di ajang Pilkada Gubernur Kepulauan Bangka Belitung tentu bukan hal yang mudah untuk diterima.
Tetapi, bukan karakter Ahok yang akan menyerah begitu saja. Ia sempat membawa perkara ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan gugatan. Namun ia dikalahkan. Ia kemudian ditawari kembali untuk mencari keadilan atas hasil yang menurutnya belum mencerminkan suara rakyat yang sesungguhnya itu.
Namun, Ahok bercerita kepada saya, ia akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan gugatan tersebut. “Waktu itu, saya sudah mempertimbangkan semua hal,” katanya. Setidaknya ketika itu, menurut Ahok, ada dua alasan besar yang menghalanginya untuk menempuh jalur hukum lebih jauh.
Pertama, ia menyadari bahwa biaya untuk mengawal gugatan ke MK sangatlah besar. Dengan keterbatasan dana yang dimilikinya, ia merasa mustahil untuk berjuang lebih jauh. Begitu banyak kebutuhan logistik dan sumber daya yang harus disiapkan jika ia ingin memenangkan pertempuran tersebut.
Namun, alasan yang lebih dalam dan jauh lebih filosofis datang dari pemahaman politik Ahok yang tajam. “Saya berasal dari etnis Tionghoa, dan jika saya menang melalui MK, nanti saya akan kesulitan dalam menjalankan pemerintahan. Bukan soal siapa yang menang, tetapi soal bagaimana saya bisa memimpin dengan muruah dan pengakuan dari masyarakat,” begitu kira-kira penjelasannya waktu itu.
Menurut Ahok, menang dengan cara yang dianggap tidak terhormat atau dengan bantuan lembaga hukum bisa jadi akan mencoreng citra dirinya di mata publik. Tentu saja publik, terutama masyarakat Bangka Belitung, harus menerima dia sebagai pemimpin mereka dengan sepenuh hati, bukan sebagai sosok yang ‘terpaksa’ menang karena intervensi hukum.
Nampaknya Ahok menyadari, bahwa menjadi pemimpin tidak hanya soal menang di meja MK atau di bilik suara. Pemimpin sejati adalah mereka yang bisa mengelola kepercayaan rakyat. Dan, baginya, mengelola kepercayaan itu adalah hal yang jauh lebih penting dibandingkan sekedar mendapatkan kemenangan yang tidak tulus. Ia ingin menang secara terhormat.
Ahok Kalah Lagi
Pengalaman pahit menjadi calon gubernur yang dikalahkan itu kembali dialami Ahok 10 tahun kemudian, tepatnya tahun 2017. Bahkan kekalahan Ahok – Djarot tampak lebih pahit ketimbang saat Pilgub Babel di tahun 2007 silam. Bila di Pilgub Babel selisih suara hanya sekitar 3% saja, maka di Pilgub DKI 2017 kekalahan Ahok berdasarkan hasil perhitungan cepat dari banyak lembaga survey mencapai lebih dari 10%.
Ketika diwawancara di Pullman Hotel, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (19/4/2017) oleh media pasca kekalahannya di Pilgub DKI, sebagaimana yang ditulis oleh m.jpnn.com, Ahok menyampaikan bahwa “Pendukung kami pasti sedih, kecewa, enggak apa-apa,” ujarnya.