Guru Serba Salah, Siswa Semakin Tak Terarah, Kapan Kita Berbenah?
Oleh: Hairul, S. Hum, M. Pd
Profesi guru merupakan salah satu profesi yang paling diminati di berbagai daerah Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta yang membuka fakultas keguruan.
Selain itu, semakin hari semakin banyak sekolah yang bermunculan, mulai dari yang berbasis agama, maupun yang berbasis teknologi. Namun, ironisnya, kondisi pendidikan di Indonesia justru menunjukkan tren yang berlawanan.
Guru tidak lagi dipandang sebagai profesi yang mulia maupun bermartabat. Sebaliknya, guru sering dijadikan kambing hitam atas rendahnya kualitas pendidikan dan moral peserta didik di Indonesia.
Jika seorang guru menegur siswa yang melanggar aturan, ia dianggap tidak kompeten dalam mendidik. Jika ada satu sekolah yang bermasalah dengan dana siswa, maka semua sekolah seolah terkena stigma yang sama.
Ketika ada seorang siswa yang memberikan hadiah pada hari guru, tindakan tersebut dicurigai sebagai gratifikasi. Bahkan, jika sekolah mengadakan kegiatan yang membutuhkan dana tambahan di luar anggaran, seperti study tour, sebagian masyarakat langsung mencapnya sebagai pungutan liar (pungli).
Belum lagi kasus di mana kepala daerah menonaktifkan kepala sekolah karena bersikeras melaksanakan study tour.
Padahal, kegiatan semacam itu merupakan program tahunan yang dinantikan oleh hampir semua siswa.
Jika kita bandingkan dengan pendidikan beberapa dekade lalu, jarang sekali terdengar siswa melawan guru.
Siswa pada masa itu sangat menghormati gurunya, dan orang tua pun memberikan kepercayaan penuh kepada guru dalam mendidik anak-anak mereka. Guru benar-benar berperan sebagai pengganti orang tua di sekolah. Namun, situasi saat ini sangat berbeda.
Siswa yang melawan guru dianggap hal biasa, dan lebih parahnya, banyak orang tua yang selalu membela anak mereka tanpa melihal konteks kejadian yang sebenarnya. Jika guru harus memberikan hukuman fisik atau teguran keras, ia bisa berhadapan dengan masalah hukum.
Sebagian guru akhirnya lebih memilih menghindari konfrontasi dengan siswa yang bermasalah. Mereka lebih memilih untuk tidak terlalu peduli karena khawatir akan konsekuensi hukum yang dapat mengancam karier mereka.
Akibatnya, peran guru yang seharusnya mentransfer ilmu sekaligus mendidik akhlak siswa menjadi tereduksi hanya pada aspek akademik semata. Pendidikan karakter yang harusnya melekat pada peserta didik, semakin hari semakin berkurang bahkan cenderung terabaikan.
Selain itu, kemajuan teknologi dan maraknya penggunaan media sosial semakin memperburuk keadaan. Apalagi kurangnya literasi masyarakat, bisa membuat informasi menyebar tanpa disaring terlebih dahulu, langsung menilai sebelah mata.
Fenomena ini yang terus berlanjut akan membuat guru atau sekolah yang ada di Indonesia bukan lagi sebagai sumber atau tempat yang menuntut ilmu, yang bisa dipercaya masyarakat Indonesia. Kredibilitas sekolah di mata masyarakat semakin hari semakin menurun yang awalnya dianggap sebagai tempat untuk menuntut ilmu dan mendidik siswa.
Dari berbagai permasalahan tersebut, ini mencerminkan bahwa pendidikan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Jika tidak segera dilakukan perbaikan, situasi ini semakin memburuk.
Oleh karena itu, kita perlu berbenah agar sekolah kembali menjadi institusi yang sakral dalam membentuk generasi penerus bangsa. Namun, upaya ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, guru, orang tua, dan masyarakat.