Oleh: Tara Nadila Efrileandra — Mahasiswa Universitas Bangka Belitung

Saat ini Indonesia sedang menghadapi masalah serius terkait perkawinan anak di bawah umur. Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia dengan jumlah perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun mencapai sekitar 25,53 juta orang.

Angka perkawinan anak di bawah umur di Indonesia masih cukup tinggi meskipun mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, angka perkawinan anak tercatat sebesar 6,92%, turun dari 8,06% pada 2022 dan 9,23% pada 2021.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS juga menunjukkan terdapat sekitar 1,2 juta kejadian perkawinan anak, dengan proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun sebesar 11,12%. Artinya sekitar 1 dari 9 perempuan menikah saat masih anak-anak, jauh lebih tinggi disbanding laki-laki yang hanya 1 dari 100.

Setelah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 diberlakukan, terjadi pelonjakan signifikan dalam permohoan dispensasi kawin di Pengadilan Agama, karena banyak calon pengantin yang usianya belum mencapai 19 tahun harus mengajukan dispensasi untuk menikah.

Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019 memberikan peluang dispensasi dengan alasan sangat mendesak dan bukti pendukung, namun tidak mengatur secara rinci kriteria atau dasar hukum yang mengikat sehingga menimbulkan subjektivitas hakim dalam memutuskan permohonan dispensasi.

Hal ini membuka celah hukum yang memungkinkan penyalahgunaan dispensasi. Hakim dihadapkan pada dilema antara mengabulkan dispensasi demi alasan preventif (misal menghindari zina atau kehamilan di luar nikah) dan kuratif, dengan semangat UU yang ingin mencegah pernikahan dini karena dampak psikologis, ekonomi dan kesehatan reproduksi yang belum siap. Penolakan dispensasi juga berpotensi menimbulkan masalah sosial seperti kehamilan remaja di luar nikah.

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah ketentuan batas minimal umur perkawinan menjadi 19 tahun untuk pria dan wanita serta mengatur dispensasi kawin yang dapat diberikan oleh pengadilan jika ada alasan sangat mendesak disertai bukti cukup.

Dispensasi ini merupakan pengecualian terhadap ketentuan umur minimal tersebut dan harus mempertimbangkan pendapat dari kedua calon mempelai. Namun, untuk efektivitas Pasal 7 ini dalam mengatur dispensasi kawin dinilai kurang optimal.