Anak-Anak di Kolong Tambang: Masa Depan Bangka Belitung yang Terabaikan

Oleh: Andini Harsyta — Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

Kasus kematian anak-anak di kolong bekas penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah terjadi berulang kali. Penyebabnya pun beragam, mulai dari tenggelam hingga diterkam buaya.

Tragisnya, kejadian serupa juga menimpa para penambang dewasa yang bekerja di sektor timah inkonvensional, yang sebagian besar tidak memiliki perlindungan kerja yang memadai.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memang dikenal sebagai salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia. Sebagian besar masyarakat di wilayah ini menggantungkan hidup pada aktivitas penambangan timah inkonvensional.

Kegiatan ini telah berlangsung sejak lama dan terus berkembang karena dianggap menjanjikan secara ekonomi, terutama bagi masyarakat dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah.

Namun, yang sangat memprihatinkan adalah keterlibatan anak-anak dan remaja dalam aktivitas pertambangan tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang terlibat langsung, baik membantu orang tua maupun bekerja sendiri di lokasi tambang.

Banyak pula anak-anak yang diajak oleh orang tuanya ke lokasi tambang, dengan alasan menemani atau sekadar bermain. Bahkan, sebagian dari mereka memilih untuk putus sekolah dan menjadi penambang demi memperoleh penghasilan sendiri.

Data dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bangka Belitung menunjukkan bahwa sebanyak 43% anak yang putus sekolah disebabkan oleh keterlibatan dalam kegiatan pertambangan, dan mayoritas dari mereka berada pada usia remaja.

Fakta ini menunjukkan bahwa persoalan pekerja anak di sektor tambang sudah berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan.

Menurut Irwanto dan R. Pardoen (1995) dalam penelitian Saputi R. dan Musliyandi (2020), terdapat tiga faktor utama yang melatarbelakangi keberadaan pekerja anak di sektor pertambangan.

Pertama, teori budaya, yang menjelaskan bahwa dalam budaya tertentu, anak dianggap wajar mulai belajar bekerja dari orang dewasa sejak usia dini.

Kedua, teori kemiskinan, yang menyebutkan bahwa kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, terutama yang dipimpin oleh orang tua tunggal, mendorong anak untuk ikut bekerja.

Ketiga, teori ekonomi, yang menyatakan bahwa keputusan orang tua untuk melibatkan anak dalam pekerjaan didasari pada pertimbangan rasional secara finansial. Biaya pendidikan yang tinggi dan hilangnya potensi pendapatan jika anak tetap bersekolah menjadi alasan utama.

Fenomena ini merupakan persoalan serius yang harus segera ditangani. Aktivitas penambangan bukanlah lingkungan yang aman bagi anak-anak, baik dari segi keselamatan fisik, kesehatan, maupun perkembangan psikologis serta pendidikan mereka. Kolong tambang bukanlah tempat bermain, dan pekerjaan tambang bukanlah jalan masa depan yang layak bagi anak-anak bangsa.