Oleh: Keke Cahyani

Pernikahan dimaknai sebagai sebuah ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama. Sebagaimana pemerintah telah mengatur batas usia minimal perempuan dan laki-laki untuk menikah dalam UU Nomor 16 tahun 2019 adalah 19 tahun. Setelah sebelumnya pernah berlaku UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan batas usia minimal perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

Penentuan batas usia minimal ini dinilai sudah berkesesuaian dengan ketentuan Kemen PPPA, dalam undang-undangnya Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak yang menyebutkan kategori anak yaitu berusia di bawah 18 tahun. Sedangkan pernikahan dini dapat dilakukan dengan mengajukan dispensasi nikah oleh izin orang tua dengan disebabkan kegentingan.

Stigma Pernikahan Dini

Fenomena pernikahan dini sebenarnya tidak hanya eksis pada dewasa ini, melainkan sudah ada dari jauh sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai norma dan agama yang menjadi penyebab stigma negatif pernikahan dini semakin mencuat. Redupnya aturan dan sanksi sosial mendukung berbagai penyimpangan terjadi seperti awamnya pacaran yang menimbulkan seks bebas hingga berujung kecelakaan.

Imbasnya, pernikahan dini yang sebelumnya wajar karena kesiapan dan kemapanan kedua individu berubah menjadi stigma yang harus dihindarkan dari kehidupan bermasyarakat. Tidak mengherankan jika pernikahan dini saat ini banyak diawali dari ketidaksiapan dan keterpaksaan yang menghasilkan ketimpangan dan kesengsaraan dalam kehidupan berumahtangga.

Pasang Surut Arus Pernikahan Dini

BKKBN menyebut pernikahan dini mengalami kenaikan 30% setiap tahunnya. Menindaklanjuti hal tersebut, Pemerintah telah cukup tanggap untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan dari pernikahan dini, seperti meningkatkannya risiko stunting, perceraian, dan permasalahan kesehatan. Pemerintah berupaya maksimal dengan menggerakkan berbagai program yang menyasar pemuda dan masyarakat untuk mencegah pernikahan dini, salah satunya dengan revisi batas usia layak menikah bagi laki-laki dan perempuan.

Di Bangka Belitung, BKKBN menghimbau kepada remaja perempuan untuk tidak menikah sebelum berusia 21 tahun. Kepala perwakilan BKKBN provinsi Kepulauan Bangka Belitung MHD Irzal, mengingatkan bahwa usia yang ideal untuk menikah bagi perempuan adalah 21 tahun dan bagi laki-laki adalah 25 tahun. Ketentuan ini didukung berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), yang menyatakan angka stunting di Bangka Belitung pada Tahun 2022 tercatat sebanyak 18,5%.

Stunting merupakan kondisi terhambatnya pertumbuhan pada anak yang akan berpengaruh pada tumbuh kembang dan kemampuan serta keterampilan anak di masa mendatang. Stunting menjadi permasalahan dalam sebuah negara berkembang sebab akan menyulitkan untuk membentuk generasi yang berkualitas. Apalagi sejalan dengan visi mewujudkan generasi emas yang sehat dan produktif tahun 2045 sehingga stunting harus ditekan angkanya baik oleh pemerintah pusat provinsi dan daerah.

Menurut pemerintah, salah satu penyumbang angka stunting adalah pernikahan dini yang tidak memiliki kesiapan fisik dan mental yang akan berbahaya bagi kelangsungan bangsa dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan kesehatan (bahaya kehamilan dan stunting). Oleh karena itu, pernikahan dini menjadi hal urgensi untuk segera ditangani.

Tidak cukup dengan pemerintah, usaha pencegahan pernikahan dini ini juga menggandeng pemuda untuk memudahkan opini tepat sasaran di masyarakat. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Kepri juga menggerakkan PIK Remaja di tiap sekolah dan masyarakat dalam mengedukasi permasalahan remaja dari masalah narkoba, seks bebas, dan pernikahan dini.

PIK Remaja umumnya dikenal sebagai forum genre menjadi motor penggerak pemuda, dengan slogannya  ‘Katakan Tidak pada Nikah Dini, Seks Pra Nikah, dan Napza’. Diharapkan dengan adanya forum tersebut seluruh remaja akan dapat berperilaku positif, kreatif, dan inovatif serta ikut aktif dalam mempersiapkan pernikahan di usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki yang akan mempercepat penurunan stunting.

Begitu pula di Kabupaten Bangka Selatan, ratusan remaja duta Generasi Anti Nikah Muda atau Gen-Anda telah mengikuti pembinaan di kantor Kementerian Agama. Ditargetkan sebanyak 800 orang anak usia remaja akan digandeng di delapan kecamatan untuk menjadi duta Generasi Anti Nikah Muda atau Gen-Anda. Langkah ini sebagai upaya preventif dalam menekan angka pernikahan dini, perceraian, dan stunting di Bangka Belitung sehingga memuluskan target pemerintah untuk menciptakan generasi emas yang sehat dan produktif pada 2045.

Masifnya upaya pencegahan pernikahan dini ini ternyata telah membuahkan hasil. Angka pernikahan dini di Babel tercatat mengalami penurunan signifikan berkat berbagai program yang digalakkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pernikahan dini di Bangka Belitung pada 2019 sebanyak 15,48 %, tahun 2020 menurun menjadi 14,05 %, tahun 2021 sebanyak 9,23 %, dan menjadi 6,92% pada tahun 2023. Sungguh berbangga hati pemerintah yang telah bersinergi dengan BKKBN dan PIK Remaja dalam mencetak penurunan angka pernikahan dini tersebut.

Penyebab Pernikahan Dini

Menarik benang merah, pernikahan dini yang terjadi saat ini memiliki 4 (empat) faktor, antara lain yaitu:

Pertama, faktor ekonomi dan kemiskinan yang membuat masyarakat berpikir menyegerakan menikah untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Menikah sebagai wujud kemandirian ekonomi bersama suami/istri.

Kedua, faktor sosial-budaya yang berlaku saat ini mendukung pergaulan bebas dengan mewajarkan pacaran hingga menimbulkan perzinahan yang masif. Akhirnya menikah dianggap sebagai solusi melampiaskan nafsu dan menutupi aib. Begitu pula dengan adat istiadat yang mendorong pernikahan anak yang belum memiliki kesiapan fisik dan mental.

Ketiga, faktor kebebasan informasi membuka akses tidak terbatas  bagi pengguna gawai baik tua maupun kawula muda. Sehingga pornografi mudah dikonsumsi publik hingga menjadi pornoaksi yang meresahkan masyarakat. Hal ini menjadi stimulus untuk melancarkan aksi perzinahan dan perkosaan.