Oleh: Putri Simba

Di bawah pohon besar di tepi hutan kecil, ada sebuah bangku kayu tua yang menjadi tempat pelarian Dinda. Setiap sore, ketika matahari akan terbenam, dia akan duduk di sana, ditemani suara angin yang berdesir pelan. Di tempat sunyi itu, Dinda menemukan ketenangan yang takbisa didapatkannya di rumah.

Dinda adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Namun, dia sering merasa seperti orang asing di tengah keluarganya sendiri. Ayahnya sibuk bekerja, dengan wajah lelah tanpa kata. Ibunya, yang dahulu penuh perhatian, kini hanya menumpahkan kasih sayang kepada adiknya, sehingga dirinya tidak pernah lagi mendapatkan segalanya. Dia merasa terasingkan dan hanya bisa menangis di kesunyian malam.

Dinda pernah mencoba mendekati ibundanya, meminta perhatian, tetapi tanggapan yang didapat hanya dingin.

“Ibu, sedang apa, Bu, ayo kita jalan bersama ke taman, kita mengingat setiap momen-momen kisah berharga keluarga harmonis kita,” ajak Dinda kepada ibunya. Dia ingin meminta sedikit perhatian.

“Dinda, kamu sudah besar, jangan manja. Belajar mandiri, ya,” kata ibunya sambil terus menggendong adiknya.

“Sebentar saja Bu, plis, aku hanya ingin ke taman bersama Ibu,” bujuk Dinda kembali memomon.

“Kalau sudah Ibu bilang tidak bisa, ya, tidak bisa, Dinda, kamu ini kenapa sih, jangan pernah kamu memaksa ibumu ini!” kata Ibu yang mulai membentak Dinda.

Mendengar bentakan ibunya itu, air mata Dinda mulai menetes, lalu dengan berlari cepat, Dinda kembali ke bangku kayu favoritnya dengan sedih. Matahari mulai tenggelam, menciptakan semburat jingga di langit. Dia menggenggam sebuah buku kecil, buku harian yang ditulisnya sejak lama. Di sana, dia mencurahkan segala keluh kesah dan mimpi-mimpinya.

“Apa salahku?” gumam Dinda pelan, hampir tak terdengar. Air matanya menetes, membasahi halaman buku yang kosong.

“Kenapa aku harus merasa seperti ini? Kenapa aku tidak bisa seperti anak-anak lain yang disayangi orang tua mereka?” ujarnya dengan keras.

“Aaah, aku benci ini semua,jika aku bisa memilih antara ombak dan bumi, lebih baik diriku pilih sirna bersama ombak itu, dari pada aku harus merasakan semuanya ini!” teriak kembali Dinda dengan keras.

Angin berhembus lebih kencang, seakan ingin memeluknya, tetapi pelukan angin takpernah cukup untuk mengisi kekosongan di hatinya.

Di tempat favoritnya itu, pada saat dirinya berteriak ada seorang pria tua melintas. Ia adalah penjaga hutan, yang sering melihat Dinda duduk di tempat itu. Dengan langkah pelan, pria itu mendekat.

“Nak, apa yang kamu pikirkan di sini sendirian setiap hari?” tanyanya lembut.